Rabu, 11 November 2015

makalah ushul fikih (pembagian hukum islam takhlifi dan wad"hi)



MAKALAH USHUL FIKIH

PEMBAGIAN HUKUM ISLAM ( TAKLIFI DAN WADH”I)
                                             

DISUSUN OLEH :
RAHMAT ABAS
FRANDIK YUNUS
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
TAHUN AJARAN 2013-2014







KATA PENGANTAR
           Alhamdulillah,syukur kepada allah yang telah memberikan hidayahnya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW,suri teladan yang telah membawa kita dari jaman kebodohan kejaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
          Pada kesempatan kali ini,dengan penuh syukur kami mengucapkan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpatisipasi dalam penyelesaian penelitian ini.Kemudian kepada kedua orang tua saya atas segala doa dan harapan besar yang harus saya pertanggung jawabkan. Saya merasa sangat berharga dengan semua itu sehingga dengan penuh semangat bias menyelesaikan penyusunan penelitian ini.
         Meskipun demikain, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu,segala kesalahan dan kekhilafan yang ada mohon di malumi.


















PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
          Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
               Syari’ah / hukum islam pada saat ini sepertinya sudah dikesampingkan oleh sebagian umat Islam.Padahal jika kita pahami tujuan dari syariah Islam tersebut sangatlah baik.

1.2.Rumusan Masalah
                  Berdasarkan latar belakang makalah ini, maka penyusun membuat suatu rumusan masalah, yaitu :
1.      Apa sebenarnya syariah tersebut.
2.      Apa-apa saja pembagian hokum Islam.
3.      Bagaimana sebenarnya prinsip dan watak syariah Islam tersebut..
4.      Apa tujuan dari Syariah itu..
5.      Bagaimana penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari..

1.3.Batasan Masalah
            Hukum-hukum syariah yang selama ini sudah terkesampingkan dalam masyarakat Islam di Indonesia.
1.4.Tujuan
   Makalah ini disusun dengan tujuan untuk lebih mengenal tentang permasalahan syariah. Baik itu dari segi pengertiannya, pembahagian hokum Islam itu sendiri yang terbagi kepada hokum taklifi dan hokum wadh’I, prinsip-prinsip dan watak syariah Islam yang diketahui sesuai dengan fitrah manusia, lues dalam pelaksanaannya, tidak memberatkan manusia,dsb. Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menerapkan hokum Islam tersebut.





PEMBAHASAN

2.1.    Pengertian Hukum Syar’i / Hukum Islam  ( Syariah )

                Kata Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju Allah. Apabila kata hokum dirangkai dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara’ berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah SWT. Tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Istilah Syara’ juga sering disebut dengna hokum. Dua istilah ini secara terminologi sama, bahkan istilah syara’ dalam pemakaiannya dipersempit pada aspek-aspek hukum yang dipahami sekarang yaitu aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau aktivitas manusia.

                Kata hukum dalam bahasa Arab حګم yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Pengertian kata hokum memiliki rumusan yang luas. Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa hokum itu adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atatu kelompok masyarakat ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Terdapat perbedaan pendapat anatar ulama Ushul Fiqh dan ulama fiqhdalam memberikan pengertian hokum syar’i karena berbedanya sisi pandang mereka. Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).

     

Ulama Fiqih berpendapat bahwa Hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh kitab (tuntutan ) sayr’I berupa wujub, mandub, hurmah, karabah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah ( Nasrun Haroen, 1995 : 210 ).

      Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang disebut hukum ini ada;ah dalil itu sendiri baik Al-Qur’an maupun sunnah Nabi, tetapi ulama fiqh tidak membedakan antara dalil dengan akibat yang ditimbulkan dalil itu. Karena itu keduanya mereka sebut denga ‘al-wajib.

2.2. Pembagian Hukum Islam

                  Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i.

      A. Hukum Taklifi

            Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.

     
Menurut Al-Amidi ( 1983 : 91 ) hokum taklif itu ada empat dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan) karena yang dimaksud dengan taklif itu adalah beban kepada orang yang mukallaf baik untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama hokum taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum yang lima sebagai berikut.

a.               Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.

   “ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).

b.   Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran. Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).

c.               Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).

d.   Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.
      “Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya, Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal : 168).

e.               Mubah, yaitu titah Allah SWT yang memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan , dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
      “Talak (yang dapat rujuk) dua kali. Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).

Pengaruh titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.



B.     Wadh’i
            Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil (Nasrun Haroen, 1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimahdan rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).

1.   Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang terjemahannya sebagai berikut.
      “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).

2.   Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.

      “Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R. Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).

            Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat karena berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu hokum taklifi tidak dapat dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu ( suci ) merupakan syarat sahnya shalat.

3.   Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang terjemahannya sebagai berikut.

      “ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari ( Al-Asqalany, I tth :63).
            Dari contoh-contoh di atas jelas keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.

4.   Shah, yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah sah.

5.   Bathil, yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada akibat hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan memperjualbelikan minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta dalam ketentuan hukum syara’.

            Adapun mengenai rukhsah dan ‘azimah, Syarifuddin sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya, seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
            Rukhsah, yaitu keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.

2.3. Prinsip dan Watak Syari’ah
             Tujuan utama syari’ah mengajak manusia kepada kebaikan dan melarang dari berbuat salah, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Untuk itu dalam pelaksanaannya sayri’ah mempunyai lima prinsip umum yang dikemukakan oleh Supan Kusumamiharja, (1978) antara lain sebagai berikut.

a. Sesuai dengan Fitrah Manusia
             Allah menegaskan tentang kesesuaian sayri’ah dengan potensi manusia di antaranya dalam Q.S 30:30 dan Q.S 2 :185. Dua ayat tersebut menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari’ah tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing. Bahkan Allah mengkehendaki kemudahan bagi manusia, bukan kesukaran.

b. Luwes dalam Pelaksanaannya
             Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut dalam Q.S 2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain, yaitu dalam keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat Bukhari, (Al-Asqalany, tth:99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan selanjutnya boleh sambil berbaring.

c. Tidak Memberatkan
             Semua syariat Allah tidak ada yang berat, sehingga manusia tidak mampu melaksanakannya. Contoh ibadah yang diwajibkan 5 kali dalam 24 jam, yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira 5x7 menit = 35 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5 %, 5%, dan 10 %, ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu juga dengan benda yang diharamkan hanya sebagian kecil apabila dibandingkan dengan yang dihalalkan.

d. Penetapan Hukum Secara Bertahap
             Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung, melainkan melalui tahapan. Contoh pengaharaman minuman keras, tidak langsung sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan secara bertahap. Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang mengatakan bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu Allah turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang yang mabuk.
             Kemudian Allah turunkan Q.S 5: 90 yang menyatakan secara tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul walaupun sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya haram.

e. Tujuan Syari’ah adalah Keadilan
             Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit tampak pada adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang terdapat dalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.
             Syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-ubah yaitu berikut ini: (1) takammul (lengkap), (2) wasathiyyah (pertengahan/moderat), (3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan bahwa syari’ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah ada (konsisten), dan dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan (Dahlan II, ed. 1997:577).
             Konsep  wasathiyyahmengkehendaki keselarasan dan keseimbangan atara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama diperlihatkan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya, sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari’ah mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang. Untuk mengiringi perkembangan itu di dalam syari’ah ada konsep ijtihad.
2.4. Aplikasi Syariah
            Aplikasi atau pelaksanaan hukum Islam sebagaimana yang telah disebutkan di atas selain bertujuan menunjukkan kepatuhan kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/ bimbingan kepada manusia dalam menempuh kehidupannya demi terwujdnya atau terciptanya keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat (Q.S 51:56; Q.S 2:201). Berdasarkan tujuan tersebut menurut Amir Syarifuddin I, (1997: 5), hokum Islam itu mengandung dua bidang pokok, yaitu berikut ini.
      1)   Kajian tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus  diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama, yang disebut fiqih.
      2)   Kajian tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan perangkat peraturan yang terinci itu disebut ushul fiqh.
            Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua bahasan yang terpisah, tetapi saling berkaitan. Pada topik ini yang menjadi bahasan adalah hokum amaliyah (fiqih) yang pembahasannya dikembangkan dalam Ilmu Syari’ah. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang mengkaji tentang hokum-hukum yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia dengan sesame manusia dan makhluk lainnya. Aspek pembahasan hokum ini dibagi menjadi sebagai berikut.

a. Ibadah dalam Arti Khusus ( Ibadah Mahdhah )
               Yaitu ibadah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan agama Islam secara rinci, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini adalah penjelasan rinci tentang ibadah mahdhah tersebut.
















PENUTUP

KESIMPULAN
2.2.    Pengertian Hukum Syar’i / Hukum Islam  ( Syariah )
Kata Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju AllahPembagian Hukum Islam
Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i
Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan
Hukum takhlifi ada lima macam ; wajib,sunah,haram,makruh,mubah
Hukum wadhi
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil














DAFTAR PUSTAKA
Finoza, Lamuddin. 2002.. Komposisi Ushul fikih. Jakarta: Insan Mulia.
Razak, Abdul. 1985.. Jakarta: Gramedia.
.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gunakan bahasa yang sopan..

Makalah sosiologi komunikasi- paradigma keilmuan dan teori komunikasi

SOSIOLOGI KOMUNIKASI : PARADIGMA KEILMUAN DAN TEORI KOMUNIKASI DISUSUN OLEH : RAHMAT ABAS MOHAMAD RIFAI DJ RAUF ERWI...