MAKALAH
USHUL FIKIH
PEMBAGIAN
HUKUM ISLAM ( TAKLIFI DAN WADH”I)
DISUSUN OLEH :
RAHMAT ABAS
FRANDIK YUNUS
JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
TAHUN AJARAN 2013-2014
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,syukur kepada allah yang telah memberikan hidayahnya
kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam
semoga tetap tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW,suri teladan yang telah
membawa kita dari jaman kebodohan kejaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Pada
kesempatan kali ini,dengan penuh syukur kami mengucapkan terimah kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah berpatisipasi dalam penyelesaian
penelitian ini.Kemudian kepada kedua orang tua saya atas segala doa dan harapan
besar yang harus saya pertanggung jawabkan. Saya merasa sangat berharga dengan
semua itu sehingga dengan penuh semangat bias menyelesaikan penyusunan
penelitian ini.
Meskipun
demikain, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu,segala kesalahan dan
kekhilafan yang ada mohon di malumi.
PENDAHULUAN
1.1.Latar
Belakang
Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu Muhamad al.
Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah Ta’ala yang
berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pilihan atau
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, ruhkhsah atau
azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
Syari’ah / hukum islam pada saat ini sepertinya sudah
dikesampingkan oleh sebagian umat Islam.Padahal jika kita pahami tujuan dari
syariah Islam tersebut sangatlah baik.
1.2.Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang
makalah ini, maka penyusun membuat suatu rumusan masalah, yaitu :
1. Apa
sebenarnya syariah tersebut.
2. Apa-apa
saja pembagian hokum Islam.
3. Bagaimana
sebenarnya prinsip dan watak syariah Islam tersebut..
4. Apa
tujuan dari Syariah itu..
5. Bagaimana
penerapan syariah Islam dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari..
1.3.Batasan
Masalah
Hukum-hukum syariah
yang selama ini sudah terkesampingkan dalam masyarakat Islam di Indonesia.
1.4.Tujuan
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk lebih
mengenal tentang permasalahan syariah. Baik itu dari segi pengertiannya,
pembahagian hokum Islam itu sendiri yang terbagi kepada hokum taklifi dan hokum
wadh’I, prinsip-prinsip dan watak syariah Islam yang diketahui sesuai dengan
fitrah manusia, lues dalam pelaksanaannya, tidak memberatkan manusia,dsb.
Selain itu juga dibahas tentang bagaimana menerapkan hokum Islam tersebut.
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Hukum Syar’i / Hukum Islam ( Syariah )
Kata Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang
dapat ditempuh air, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju
Allah. Apabila kata hokum dirangkai dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara’
berarti seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah SWT. Tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam ( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Istilah Syara’ juga
sering disebut dengna hokum. Dua istilah ini secara terminologi sama, bahkan
istilah syara’ dalam pemakaiannya dipersempit pada aspek-aspek hukum yang
dipahami sekarang yaitu aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau
aktivitas manusia.
Kata hukum dalam bahasa Arab حګم yang secara
etimologi berarti memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan. Pengertian kata
hokum memiliki rumusan yang luas. Meskipun demikian secara sederhana dapat
dikatakan bahwa hokum itu adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang ditetapkan dan diakui oleh suatu Negara atatu kelompok masyarakat
( Amir Syarifuddin I, 1997 : 281 ). Terdapat perbedaan pendapat anatar ulama
Ushul Fiqh dan ulama fiqhdalam memberikan pengertian hokum syar’i karena
berbedanya sisi pandang mereka. Ulama ushul fiqh seperti Muhamad Ali Ibnu
Muhamad al. Syaukani berpendapat bahwa hokum syar’i itu adalah tuntutan Allah
Ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan,
pilihan atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal,
ruhkhsah atau azimah ( Nasrun Haroen 1, 1995 :208 ).
Ulama
Fiqih berpendapat bahwa Hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh kitab
(tuntutan ) sayr’I berupa wujub, mandub,
hurmah, karabah dan ibadah. Perbuatan yang dituntut itu menurut mereka
disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah ( Nasrun Haroen, 1995 : 210 ).
Jadi ulama ushul fiqh mengatakan bahwa
yang disebut hukum ini ada;ah dalil itu sendiri baik Al-Qur’an maupun sunnah
Nabi, tetapi ulama fiqh tidak membedakan antara dalil dengan akibat yang
ditimbulkan dalil itu. Karena itu keduanya mereka sebut denga ‘al-wajib.
2.2.
Pembagian Hukum Islam
Berdasarkan defenisi di atas , ulama ushul fiqh
membagi hokum Islam tersebut kepada dua pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah
titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Dinamakan hokum taklif karena
titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf. Yang dimaksud
dengan mukallaf dalam kajian hokum islam adalah setiap orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang
gila / mabuk dan orang tertidur tidak termasuk golongna mukallaf, maka segala
tindakan yang mereka lakukan tidak dapat dikenakan sangsi hokum. Ada dua bentuk
tuntutan di dalam hokum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan
untuk meninggalakan. Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam
dua bentuk yaitu tuntutan yang bersifat mesti dan tuntutan yang tidak mesti dan
pilihan yang terletak di antara mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut Al-Amidi ( 1983
: 91 ) hokum taklif itu ada empat
dengan tidak memasukkan al-ibadah (pilihan)
karena yang dimaksud dengan taklif itu
adalah beban kepada orang yang mukallaf baik
untuk mengerjakan atau meninggalkan, sedangkan menurut jumhur ulama hokum
taklif itu ada lima macam yang disebut juga dengan hukum yang lima sebagai
berikut.
a. Wajib, yaitu tuntutan yang
mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga orang yang mengerjakan patut
mendapatkan ganjaran, dan kalau ditinggalkan patut mendapatkan ancaman, seperti
firman Allah dalam Q.S 4 : 36 yang terjemahannya sebagai berikut.
“ Sembahlah olehmu Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun (Depag. R.I ,1984:123 ).
b.
Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung
suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran untuk
mengerjakannya. Bagi orang yang melaksanakan berhak mendapatkan ganjaran.
Karena kepatuhannya, tetapi apabila tuntutan itu ditinggalkan boleh saja, tidak
mendapat ancaman dosa seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 2 : 282 yang
terjemahannya sebagai berikut.
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan , hendaklah
kamu menuliskannya”. (Depag. R.I, 1984 : 70).
c. Haram, yaitu tuntutan yang
mengandung larangan yang mesti dijauhi. Apabila seseorang telah meninggalkannya
berarti dia telah patuh kepada yang melarangnya, karena itu dia patut
mendapatkan ganjaran berupa pahala. Orang yang tidak meninggalkan larangan
berarti dia telah mengingkari tuntutan Allah, karena itu patut mendapatkan
ancaman dosa, seperti firman Allah SWT. Dalam Q.S 17 : 23 yang terjemahannya
sebagai berikut.
“ …Janganlah kamu mengatakan ah kepada ibu
bapakmu, dan janganlah kamu menghardikkeduanya, katakanlah kepada keduanya
perkataan yang mulia.” (Depag. R.I, 1984 : 427).
d.
Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung
larangan tetapi tidak mesti dijauhi. Artinya orang yang meninggalkan larangan
berarti telah mematuhi yang melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran
pahala. Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka orang yang
meninggalakan larangan itu tidak dapat disebut menyalahi yang melarang, dan
tidak berhak mendapatkan ancaman dosa seperti sabda Nabi SAW. Berikut ini.
“Dari Ibnu Umar, semoga Allah meridhainya,
Rasulullah SAW bersabda, perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
Thalak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan dishahihkan Hakim)(Al-Shan’ani, hal :
168).
e. Mubah, yaitu titah Allah SWT yang
memberikan titah kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan
, dalam hal ini tidak ada tuntutan baik mengerjakan atau meninggalkan. Apabila
seseorang mengerjakan dia tidak diberi ganjaran dan tidak pula ancaman atas
perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu apabila dia
melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran seperti
firman Allah SWT dala Q.S 2 : 229 yang terjemahannya sebagai berikut.
“Talak (yang dapat rujuk) dua kali.
Setelah itu, boleh rujuklagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan
cara yang baik (Depag. R.I, 1984 : 55).
Pengaruh
titah ini terhadap perbuatan disebut juga ibahah, dan perbuatan yang diberi
pilihan untuk berbuat atau tidak itu disebut mubah.
B. Wadh’i
Ulama ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam
yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’,
shah, dan bathil (Nasrun Haroen,
1995: 40), sedangkan menurut Al-Amidi tujuh macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, bathil,azimahdan
rukhsah (Al-Amidi, 1983 : 91).
1.
Sabab,
yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebabbagi wajib
dikerjakan suatu pekerjaan , seperti firman Allah SWT dalam Q.S 17 :78 yang
terjemahannya sebagai berikut.
“Dirikanlah shalat sesudah matahari
tergelincir.” (Depag. R.I, 1984 : 436).
2. Syarath,
yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi sesuatu
seperti sabda Nabi SAW, yang terjemahannya sebagai berikut.
“Sesungguhnya Allah tidak menerima shalat
salah seorang di antara kamu apabila dia berhadas hingga berwudhu.” H.R.
Syaikhani (Al-Shan’ani I, ttth :40).
Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu, tetapi
seseorang yang dalam keadaan berwudhu tidak otomatis harus mengerjakan shalat
karena berwudhu itu merupakan salah satu syarat sah nya shalat. Jadi suatu
hokum taklifi tidak dapat
dilaksanakan sebelum memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan syara’. Oleh sebab itu berwudhu ( suci )
merupakan syarat sahnya shalat.
3. Mani’
(penghalang), yaitu sesuatu yang nyata keberadaannya menyebabkan tidaj ada
hokum. Misalnya sabda Rasulullah SAW kepada Fatimah binti Abi Hubeisy yang
terjemahannya sebagai berikut.
“ Apabila datang haid kamu tinggalkanlah
shalat, dan apabila telah berhenti, maka mandilah dan shalatlah.” H.R. Bukhari
( Al-Asqalany, I tth :63).
Dari contoh-contoh di atas jelas
keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ sangat erat.
4. Shah,
yaitu suatu hokum yang sesuai dengan tuntutan syara’. Maksudnya hokum itu
dikerjakan jika ada penyebab , memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab
penghalang untuk melaksanakannya. Misalnya, mengerjakan shalat zuhur setelah
tergelincir matahari sabab (sebab)telah berwudhu (syarat), dan tidak ada
penghalang (mani’) seperti haid, nifas dan sebagainya, maka hukumnya adalah
sah.
5.
Bathil,
yaitu terlepasnya hokum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada
akibat hokum yang ditimbulkannya, seperti batalnya jual beli dengan
memperjualbelikan minuman keras, karena minuman keras itu tidak bernilai harta
dalam ketentuan hukum syara’.
Adapun mengenai rukhsah
dan ‘azimah, Syarifuddin
sependapat dengan Al-Amidi yaitu termasuk pemabahasan hokum wadh’i dalam
pelaksanaan hokum taklifi (Syarifuddin I, 1997: 28). ‘Azimah yaitu hokum asal atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan
dalili umum tanpa memandang kepada keadaan mukallaf yang melaksanakannya,
seperti haramnya bangkai untuk umat Islam.
Rukhsah, yaitu
keringanan atau pelaksanaan hokum taklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai
pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu seperti boleh memakan
bangkai dalam keadaan tertentu, walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
2.3.
Prinsip dan Watak Syari’ah
Tujuan utama syari’ah mengajak manusia kepada kebaikan
dan melarang dari berbuat salah, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di
akhirat. Untuk itu dalam pelaksanaannya sayri’ah mempunyai lima prinsip umum
yang dikemukakan oleh Supan Kusumamiharja, (1978) antara lain sebagai berikut.
a. Sesuai dengan Fitrah
Manusia
Allah menegaskan tentang kesesuaian sayri’ah dengan
potensi manusia di antaranya dalam Q.S 30:30 dan Q.S 2 :185. Dua ayat tersebut
menjelaskan bahwa seluruh aturan yang ada dalam syari’ah tidak ada yang tidak
dapat dilakukan oleh manusia sesuai dengan situasi dan kondisinya
masing-masing. Bahkan Allah mengkehendaki kemudahan bagi manusia, bukan
kesukaran.
b. Luwes dalam Pelaksanaannya
Allah menjelaskan tentang keluwesan syariah tersebut
dalam Q.S 2:173, bahwa hal-hal yang diharamkan dalam suatu keadaan dan kondisi
tertentu, dapat menjadi halal dalam keadaan dan kondisi lain, yaitu dalam
keadaan terpaksa. Contoh lain seperti yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat
Bukhari, (Al-Asqalany, tth:99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan
shalat dalam keadaan berdiri, maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan
selanjutnya boleh sambil berbaring.
c. Tidak Memberatkan
Semua syariat Allah
tidak ada yang berat, sehingga manusia tidak mampu melaksanakannya. Contoh
ibadah yang diwajibkan 5 kali dalam 24 jam, yang hanya membutuhkan waktu
minimal kira-kira 5x7 menit = 35 menit, zakat harta hanya berkisar 2,5 %, 5%,
dan 10 %, ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu juga dengan benda yang
diharamkan hanya sebagian kecil apabila dibandingkan dengan yang dihalalkan.
d. Penetapan Hukum
Secara Bertahap
Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung,
melainkan melalui tahapan. Contoh pengaharaman minuman keras, tidak langsung
sekaligus dilarang tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya
diharamkan. Allah SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan
secara bertahap. Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang mengatakan
bahwa pada khamar dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar daripada manfaatnya. Setelah itu Allah
turunkan Q.S 4:43 berupa larangan mendekati shalat bagi orang-orang yang mabuk.
Kemudian Allah turunkan Q.S 5: 90 yang menyatakan secara
tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan oleh hadis Rasul walaupun
sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya haram.
e. Tujuan Syari’ah
adalah Keadilan
Pencapaian keadilan di dalam syariah secara eksplisit
tampak pada adanya penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang
terdapat dalam syariat tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.
Syari’ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah-ubah
yaitu berikut ini: (1) takammul (lengkap),
(2) wasathiyyah (pertengahan/moderat),
(3) harakah (dinamis). Watak takammul memperlihatkan bahwa syari’ah
itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang sudah ada (konsisten), dan
dapat pula melayani golongan yang menginginkan pembaharuan (Dahlan II, ed.
1997:577).
Konsep wasathiyyahmengkehendaki keselarasan dan
keseimbangan atara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama
diperlihatkan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya, sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari’ah
mempunyai kemampuan untuk bergerak dan berkembang. Untuk mengiringi
perkembangan itu di dalam syari’ah ada konsep ijtihad.
2.4.
Aplikasi Syariah
Aplikasi atau pelaksanaan hukum Islam sebagaimana yang
telah disebutkan di atas selain bertujuan menunjukkan kepatuhan kepada Allah
SWT dan mencari ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/ bimbingan kepada
manusia dalam menempuh kehidupannya demi terwujdnya atau terciptanya
keselamatan dunia dan kebahagiaan akhirat (Q.S 51:56; Q.S 2:201). Berdasarkan
tujuan tersebut menurut Amir Syarifuddin I, (1997: 5), hokum Islam itu
mengandung dua bidang pokok, yaitu berikut ini.
1) Kajian
tentang perangkat peraturan terinci yang bersifat amaliah dan harus diikuti umat Islam dalam kehidupan beragama,
yang disebut fiqih.
2) Kajian
tentang ketentuan serta cara dan usaha yang sistematis dalam menghasilkan
perangkat peraturan yang terinci itu disebut ushul fiqh.
Fiqh dan ushul fiqh merupakan dua
bahasan yang terpisah, tetapi saling berkaitan. Pada topik ini yang menjadi
bahasan adalah hokum amaliyah (fiqih) yang pembahasannya dikembangkan dalam
Ilmu Syari’ah. Ilmu Syari’ah adalah ilmu yang mengkaji tentang hokum-hukum yang
berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia
dengan sesame manusia dan makhluk lainnya. Aspek pembahasan hokum ini dibagi
menjadi sebagai berikut.
a. Ibadah dalam
Arti Khusus ( Ibadah Mahdhah )
Yaitu ibadah yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan agama Islam secara
rinci, seperti thaharah, shalat, puasa, zakat, dan haji. Berikut ini adalah
penjelasan rinci tentang ibadah mahdhah tersebut.
PENUTUP
KESIMPULAN
2.2. Pengertian
Hukum Syar’i / Hukum Islam ( Syariah )
Kata
Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang dapat ditempuh air, maksudnya
adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju AllahPembagian Hukum Islam
Berdasarkan
defenisi di atas , ulama ushul fiqh membagi hokum Islam tersebut kepada dua
pembagian yaitu hokum al-taklifi dan wadh’i
Hukum
Taklifi
Hukum
taklifi adalah titah Allah yang
berbentuk tuntutan dan pilihan
Hukum
takhlifi ada lima macam ; wajib,sunah,haram,makruh,mubah
Hukum
wadhi
Ulama
ushul fiqh membagi hokum wadh’I kepada lima macam yaitu berikut ini. Sabab, syarth, mani’, shah, dan bathil
DAFTAR
PUSTAKA
Finoza, Lamuddin. 2002..
Komposisi Ushul fikih. Jakarta: Insan Mulia.
Razak, Abdul.
1985.. Jakarta: Gramedia.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
gunakan bahasa yang sopan..