Makalah
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM
PENJAJAHAN BELANDA
Di presentasikan dalam diskusi kelas
Dosen pembibing :
PATTALING,M.Sos.I
Di
S
U
S
U
OLEH KELOMPOK
9
1.
Merlin Dai
2.
Indrawati Madihutu
PRODI KOMUNIKASI
FAKULTAS USSHULUDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN
AMAI GORONTALO
T.A 2014/2015
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Sebelum penjajah
Belanda datang ke Indonesia, di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan besar
seperti : Samudera Pasai dan Aceh Darussalam (Sumatera), Pajang, Demak, Mataram,
Cirebon, dan Banten (Jawa), Banjar dan Kutai (Kalimantan), Gowa-Tallo,
Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwa (Sulawesi).
Kerajaan Islam pertama
di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar.
Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh terletak di
daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula
terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya
berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di
atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497).
Sedangkan di Pulau
Jawa juga berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian
berdiri pula Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam
Demak. Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan
ini didirikan oleh Sultan Gunung Jati.
Di Kalimantan juga
berdiri dua buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama Sultan
Suruiansyah, dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di bandang
atau lebih dikenal dengan sebutan Dato’ Ri Bandang.
2. Rumusan Masalah
1.
Apa saja kerajaan-kerajaan islam
pertama di sumatra ?
2.
Proses tumbuh dan berkembangnya
kerajaan - kerajaan islam di jawa ?
3.
Proses tumbuh dan berkembangnya
kerajaan – kerajaan islam di kalimantan , maluku , dan sulawesi ?
4.
Hubungan politik dan keagamaan
antara kerajaan – kerajaan islam ?
5.
Apa saja Tiga pola “
PEMBENTUKAN BUDAYA” yang terlihat dalam proses pembentukan negara Aceh,Sulawesi
Selatan, dan Jawa ?
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-Kerajaan
Islam Pertama Di Sumatera
1. Samudera
Pasai
Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di
Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir
timur laut Aceh. Kemunculan pertama kalinya diperkirakan abad ke-13 M, sebagai proses
dari hasil Islamisasi daerah-daerah pinggir pantai yang pernah disinggahi para
pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya. Bukti
berdirinya kerajaan ini adalah dengan adanya nisan kubur yang terbuat dari batu
granit asal Samudera Pasai. Dan nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama
kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan
bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik Al-Shaleh adalah raja
pertama kerajaan tersebut dan merupakan pendiri kerajaan itu. Hal ini diketahui
melalui tradisi Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil
penelitian atas berbagai sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya
Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P.Molquette, J.L.Moens, J.Hushoff Poll,
G.P.Rouffaer, H.K.J.Cowan, dan lain-lain.
Dari segi politik, munculnya
kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan
kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memeganag peranan penting di kawasan
Sumatera dan sekelilingnya.
2. Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal
dengan nama Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu
diketahui kapan kerajaan ini muncul atau berdiri. Anas Machmud berpendapat,
kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, diatas puing-puing kerajaan Lamuri,
oleh Muzaffar Syah (1465-1497). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.
Menurutnya pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan
dalam bidang perdagangan karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumya
berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka
dikuasai Portugis pada tahun 1511 M.
Sebagai akibat penaklukan Malaka Utara melalaui selat
Karimata dari Portugis itu, jalan dagang yang sebelumaya dari laut Jawa ke
Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, kemudian ke Aceh. Dengan demikian
Aceh ramai dikunjungi saudagar dari berbagai negeri.
B. Tumbuh Dan
Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
1. Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa,
kerajaan ini muncul ketika melemahnya Raja Majapahit. Di bawah pimpinan Sunan
Ampel Denta, Walisongo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi Raja pertama
kerajaan Demak. Gelar Raden Fatah adalah Senopati Jimbun Ngabdurrahman
Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Demak sebelumnya adalah Bintoro
yang merupakan daerah vasal Majapahit yang diberikan oleh Raja Majapahit
kepada Raden Patah.
Pemerintahan Raden Patah
berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Dikatakan,
ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa.
Ia digantikan anaknya yang bernama Sambrang Lor, dikenal juga dengan julukan
Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika
menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya tidak lama setelah naik
tahta, ia merencanakan suatu rencana serangan terhadap Malaka. Semangat
perangnya memuncak ketika Malaka ditaklukkan Portugis pada tahun 1511. Akan
tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan
besar.
Pati Unus digantikan oleh
Trenggono yang dilantik sebagai Sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar
Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memulai pemerintahan pada tahun 1524-1546. Pada
masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan keseluruh tanah Jawa,
bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir tahun
1527 yang dilakukan oleh gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah
Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan Demak diperkirakan pada
tahun 1527 itu juga.
2.
Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang
sebagai pewaris kerajaan Islam di Demak. Kesultanan yang terletak di Kartasura
sekarang itu merupakan kerajaan Islam yang pertama yang terletak di pedalaman
pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang, kekuasaaan dan kebesarannya
kemudian diambil oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau Raja yang pertama adalah Jaka Tingkir yang
berasal dari Pengging, lereng gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga yaitu
Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangklat sebagai Raja pajang setelah sebelumnya
dikawinkan dengan anak perempuannya.
3.
Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan
Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari
daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang.
Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki
Pamanahan yang menurunkan Raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati Istana
barunya di Mataram. Dia digantikan putranya, Senopati, pada tahun 1584 dan
dikukuhkan sebagai Raja Mataram oleh Sultan Pajang.
4.
Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah kerajaan Islam yang pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini
didirikan oleh salah satu anggota Walisongo, yaitu Sunan Gunung Jati. Diawal
abad ke-16, Cirebon merupkan daerah kecil dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan disana yang bernama
Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan
Raja Pajajaran.
5.
Banten
Kerajaan di Banten merupakan perluasan Islam yang
dilakukan oleh kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung jati. Perluasan
wilayah itu dimulai dengan pendudukan Sunda oleh Sunan Gunung Jati pada tahun
1527 M.
3. Tumbuh Dan
Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam Di Kalimantan, Maluku, Dan Sulawesi
1. Kalimantan
a. Kerajaan
Banjar Di Kalimantan Selatan
Kerajaan ini
muncul ketika terjadi peristiwa pertentangan dalam keluarga istana, antara
Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaann Daha, dengan pamannya yang
bernama Pangeran Tumenggung. Ketika Raja Sukarama hampir tiba ajalnya, Ia
berwasiat agar yang menggantikannya adalah cucunya Raden Samudera. Keempat
putranya tentu tidak menerima wasiat itu.
Pertentangan
itu menimbulkan keluarnya Pangeran Samudera dari kerajaan dan berkelana sampai
ke kerajaan Demak. Ia meminta bantuan disana, dan akhirnya kerajaan Demak mau
membantu pangeran Samudera asalkan dia mau menganut ajaran Islam dan akhirnya
berhasil dan kerajaan itu berkembang menjadi kerajaan Islam.
b. Kerajaan
Kutai Di Kalimantan Timur
Menurut
risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan
Raja Mahkota. Salah seorang diantaranya adalah Tuan Bandang, yang dikenal
dengan Dato’ Ri Bandang dari Makasar, dan yang lainya adalah Tuan Tunggan
Parangan. Setelah pengislaman, Dato’ Ri Bandang kembali ke Makasar dan Tuan
Tunggang kembali ke Kutai dan melalui yang terakhir inilah Raja Mahkota
tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun masjid sebagai
tempat pengajaran agama Islam. Yang pertama adalah Raja Mahkota sendiri,
kemudian Pangeran, kemudian Para menteri, panglima dan hulubalang dan akhirnya
rakyat biasa. Hal ini terjadi pada tahun 1575 M.
2.
Maluku
Kerajaan ini
berdiri sekitar tahun 1406, Raja Ternate memeluk Islam, nama raja itu adalah
Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturunan Ningrat Jawa. Namun raja
yang benar-benar memeluk agama Islam adalah raja yang bernama Zayn Al-Abidin
pada tahun 1486-1500 M.
3.
Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo
merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut dengan
kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya pulau
Sulawesi. Kerajaan tersebut menerima ajaran agama Islam dari Gresik atau Giri
yang tersebar dalam proses Islamisasi diseluruh nusantara. Kemudian kerajaan
kembar Goa-Tallo menyampaikan “pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain
seperti Luwu, yang lebih tua, Wajo, Soppeng, dan Bone.
4.
Hubungan Politik dan
Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara
Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama
memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil
bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam
berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia
bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula,
Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke
Sunda Kelapa.
Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri
dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama
yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak
dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai
contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam
menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan
perdagangan.
Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar
kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin
bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam
sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore,
Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara
kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada
pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang
lain.
Hubungan antar
kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan.
Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah
menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam
tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan
murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di
Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra
dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan
isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan
Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal
ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik
itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan
politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis
baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar
ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta.
Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal
tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya
adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia.
Pancasila yang
bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di
Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di
Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada
tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap
dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila. Namun, cita-cita untuk mendirikan
Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan
untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam
menanggapi relasi antara Islam dan politik.
Disisi
lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi
perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator
bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia.
Hubungan antara
politik dan keagamaan atau politik dan Islam dengan kata lain, politik dalam
Islam yang berarti ada negara dan pemerintahan dalam Islam.
5. Pola-pola
Pembentukan Kerajaan Islam di Nusantara
Menurut Taufik
Abdullah, ada tiga pola dalam proses pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara, ketika Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-17
ketika kerajaan Gowa-Tallo resmi masuk Islam.
1. Pola
Samudera Pasai.
Lahirnya Kerajaan Samudera
Pasai berlangsung melalui perubahan dari negara yang
segmenter, atau mereuah menurut istilah Bustanus Salatin, ke
negara yang terpusat. Di sini proses Islamisasi sejalan dengan proses
pembentukan kerajaan terpusat, yang menggantikan kerajaan segmenter.
Sebagaimana halnya sebuah kerajaan baru, Samudera Pasai tidak saja berhadapan
dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman,
tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan
keluarga. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai
juga menjadi pusat pengajaran agama. Pola dari negara segmenter menjadi negara
terpusat, juga diambil oleh Aceh Darussalam, yang setelah membebaskan diri dari
Piddie, kemudian mengalahkan Samudera Pasai pada tahun 1524. Kecenderungan
historis yang sama juga diperlihatkan oleh Sulu dan Manguindanao.
2. Pola
Melaka
Baik Sejarah Melayu maupun
laporan Portugis memperlihatkan bahwa Islamisasi Malaka dimulai setelah
para pedagang Islam dan para "mullah" berhasil mengislamkan keluarga
kerajaan atau, bisa juga raja mengambil inisiatif untuk menjadikan dirinya
penganut Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berlangsung dalam satu
struktur negara yang, seperti dikatakan dalam Sejarah Melayu, telah
memiliki basis legitimasi geneologis. Pola Islamisasi melalui konversi keraton
atau pusat kekuasaan juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain.
Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan oleh masyarakat dagang masing-masing, yang
jumlah serta peran politiknya terus berkembang.
Tidak seperti di
Samudra Pasai, Islamisasi di Malaka, Gowa-Tallo dan sebagainya, tidak memberi
landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu
bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti umpamanya yang terjadi di
Samudra Pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada
lebih dulu. Dari perbandingan beberapa tipe Islamisasi dan pembentuknya negara
ini, menurut Taufik Abdullah, muncul dua pola yang menonjol. Yang pertama
adalah situasi di mana Islam memainkan peranan dalam pembentukan negara. Yang
kedua adalah keadaan di mana Islam harus menghadapi masalah akomodasi struktural.
Tetapi dalam kedua pola perpindahan agama tersebut, negara, baik yang berupa
kadipaten-kadipaten yang terletak di pinggir-pinggir sungai maupun kerajaan
maritim yang relatif terpusat, berperan sebagai "jembatan
penyebrangan" Islamisasi bagi wilayah sekitarnya.
3.
Pola Jawa
Di sini Islam tampaknya tidak punya
kebebasan untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, sebagaimana di
Pasai. Soalnya jelas: Islam sudah harus berhadapan dengan sistem politik dan
kekuasaan yang sudah lama mapan, dengan pusatnya keraton Majapahit. Benar,
komunitas pedagang muslim sudah mendapat tempat di pusat-pusat politik pada
abad ke-11 dan kemudian membesar pada abad ke-14. Tapi baru abad ke-14
komunitas itu menjadi ancaman yang serius bagi keraton pusat. Ini pun
setelah Majapahit melemah, menyusul konflik internal keluarga kerajaan dan
berbagai pemberontakan lokal.
Syahdan, situasi
yang runyam di pusat keraton itulah, yang membuka peluang kepada pada para
saudagar kaya di berbagai kabupaten di wilayah pesisir untuk menjauh dari
kekuasaan raja. Berbekal keuntungan besar dari perdagangan internasional, para
pedagang besar itu tidak saja masuk Islam, tapi juga membangun
komunitas-komunitas politik yang independen. Maka begitulah, kita kemudian
mengenal Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Gresik dan Surabaya, tampil sebagai
pusat-pusat perdagangan, aktivitas agama dan politik.
Sesudah keraton
pusat menjadi goyah, maka keraton-keraton kecil mulai bersaing untuk
menggantikan keraton pusat dan Demaklah akhirnya yang menggantikan. Kerajaan
ini, dengan posisinya barunya itu, tidak saja memegang hegemoni politik, tetapi
juga menjadi "jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di
Jawa. Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat dan mainkan peran
sebagai "jembatan penyebrangan" keagamaan paling penting, Demak tidak
mempunyai kebebasan struktural. Sebagai pengganti keraton pusat, Majapahit,
Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan
kultural untuk kotinuitas.
Dilema kultural
dari dominasi politik Islam di dalam suasana tradisi Ciwa-Budhistik, dengan
konsep kesusastraan yang konsentrik, telah jauh menukik ke dalam kesadaran,
menjadi lebih jelas setelah keraton dipindahkan oleh anak angkat Sultan
Trenggana, Jaka Tingkir, ke Pajang di pedalaman Kerajaan.
6.
Islam dan Negara di
Indonesia
Politik ini
berdasarkan agama, sedangkan agama di Indonesia mayoritas adalah Islam. Maka
politik yang berdasarkan Islam tidaklah terdapat “Tipu Muslihat dan Kelicikan”.
Yang ada hanya budi pekerti yang luhur yang sesuai dengan arti dari pada Islam,
isinya, sasarannya dan pesan-pesannya.
Islam tidak
menerima tipudaya selain di dalam perang yang sifatnya mencari kemenangan dalam
melawan musuh yang kejam dan penuh khianat, tipu daya dan kelicikan akal.
Sejarah Indonesia
memperlihatkan pola hubungan yang khas antara agama dan negara.
Kerajaan-kerajaan besar yang pernah menghiasi sejarah Indonesia memperlihatkan
pola hubungan ini. Kerajaan Mataram pertama dengan agama Hindu, Sriwijaya
dengan agama Budha, Majapahit dengan Hindu Siwa. Relasi kuasa antara agama dan
kerajaan menunjukkan hubungan yang saling memberikan legitimasi secara
simbiotik.
Pengalaman Islam
juga memperlihatkan hal yang sama. Taufik Abdullah (1989) mencatat empat pola
hubungan antara Islam dengan negara dalam sejarah Indonesia, yaitu :
1. Tumbuhnya
kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil yang lambat laun berkembang menjadi
kota-kota dan akhirnya menjadi pusat-pusat kerajaan, seperti Perlak dan
Samudera Pasal di Aceh. Di Aceh belum ada komunitas agama pada waktu Islam
masuk. Dari kampung-kampung Islam Itu kemudian berkembang menjadi kerajaan
besar, khususnya di bawah Sultan iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Ketika Itu
hukum agama menjadi hukum negara. Tidak ada konflik antara hukum agama dan
hukum adat, karena memang hukum adat tidak ada.
2. Adalah
pola yang terjadi di Sumatera Barat. Ketika Islam datang sudah ada hukum adat.
Konflik dan perang pernah terjadi selama 16 tahun yang dikenal dengan Perang
Paderi. Perang itu kemudian diakhiri dengan penyelesaian bahwa keduanya diakui
secara formal dalam kalimat adat bersendi syara' dan syara' bersendi
Kitabullah. Eksistensi hukum adat diakui sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum Islam, tetapi dalam kenyataan tidak dapat berjalan sepenuhnya.
Terutama dalam pembagian waris, seorang ninik mamak tetap membagi waris
secara adat, dan tidak selalu sepenuhnya sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
3. Pola
ketika Kerajaan Gowa, yang kini diteruskan oleh Kesultanan di Semenanjung
Malaysia. Sebelum kedatangan Islam sudah ada kerajaan yang kuat yang
menggunakan adat Istiadat dan hukum pra-lslam. Islam datang melalui para
pedagang dan ulama. Islam masuk keraton secara bertahap melalui perkawinan dan
aliansi-aliansi ekonomi. Akhirnya menghasilkan kerajaan yang diislamkan secara
berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur-unsur pra-lslam. Dalam proses
penyerapan ini tidak terdapat konflik berkekerasan, karena keduanya berjalan
seiring. Ajaran Islam diakui dan ajaran sebelumnya tetap berjalan.
4. Pola
Jawa. Sebelum Islam datang, kerajaan- kerajaan di Pulau Jawa telah memiliki
tradisi yang kuat dalam bentuk Hindu-Budha yang digabung dengan kepercayaan
sebelum agama-agama ini datang, yang kini dianggap sebagai budaya Jawa asli.
Budaya Jawa asli Ini diberi kedudukan yang tinggi di kerajaan. Pada waktu Islam
datang, Islam diberi tempat untuk memperkuat legitimasi kerajaan dan
kedudukannya sama dengan budaya Jawa asli Ketika Negara Republik Indonesia
berdiri, penentuan dasar negara menjadi ajang perdebatan yang melelahkan.
Setidaknya ada dua kubu yang bertentangan, yaitu kubu yang menghendaki Islam
sebagal dasar negara atau menghendaki negara Islam dan pihak yang menghendaki
Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan agama dan dari
negara. Pertentangan itu diselesaikan dengan jalan penghapusan tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Ditegaskan pula bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam
Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 mencerminkan asas tauhid (keesaan
Tuhan) dalam Islam.
Untuk mengisi
kekosongan legitimasi keagamaan yang dianggap penting untuk menjamin
kemungkinan terlaksananya hukum Islam, dibentuklah Kementerian Agama (kini
Departemen Agama). Terbentuknya lembaga ini tidak diragukan lagi melanjutkan
tradisi kelembagaan agama yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, bahkan
semenjak kerajaan Islam dahulu. Departemen Agama merupakan jawaban atas problem
kerajaan mengenai hubungan agama dan negara.
Untuk
mengelola kehidupan umat beragama, negara mengeluarkan kebijakan melalui Surat
Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 1 tahun 1969
tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan
Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya,
serta Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman
Penyiaran Agama. Menteri Agama saat itu dijabat oleh Alamsyah Ratu
Prawiranegara.
Surat keputusan
ini merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan Departemen Agama setempat
untuk membimbing, mengarahkan, dan mengawasi, serta menyelesaikan pertentangan
yang mungkin timbul secara adil dan tidak memihak. Kebijakan ini merupakan
cermin campur tangan negara terhadap kehidupan umat beragama.
Di
awal-awal kemerdekaan, sekelompok orang Islam yang tidak setuju dengan
kebijakan politik pemerintah menempuh jalan kekerasan, misalnya Darul Islam,
Tentara Islam Indonesia. Ada pula sekelompok orang Islam yang menempuh jalan
legal melalui proses politik di parlemen, seperti yang dilakukan oleh Partai
Masyumi. Kedua kelompok itu mencoba terus memperjuangkan agar Islam merupakan
nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Kedua
kelompok itu mendapat pertentangan yang keras, baik dari pemerintah maupun
Konstituante. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena tokoh- tokohnya,
seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Natsir bergabung dengan PRRI.
Hubungan antara Islam dan negara pada masa ini oleh Affen Gafar (1993) disebut
sebagai hubungan yang antagonistik. Hubungan yang antagonis menjadi pemicu
konflik antara pemerintah dan umat Islam.
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kerajaan-kerajaan
Islam pertama di Sumatera
a.
Samudera Pasai
b.
Aceh Darussalam
2.
Tumbuh dan berkembangnya
kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
a.
Demak
b.
Pajang
c.
Mataram
d.
Cirebon
e.
Banten
3.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan
Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
a.
Kalimantan
1)
Kerajaan Banjar di Kalimantan
Selatan
2)
Kutai di Kalimantan Timur
b.
Maluku
c.
Sulawesi
1.
Gowa
2.
Tallo
3.
Bone
4.
Wajo
5.
Soppeng
6.
Luwu
Semenjak
abad ke -13, ketika samudra pasai
berdiri sampai abad ke-17 dan disaat
istana Gowa Tallo resmi menganut Islam, Muncullah 3 pola pembentukan budaya yang memperlihatkan
bentuknya dalam proses pembentukan negara yang telah terjadi, tiga pola itu
adalah :
1. Pola Samudra Pasai
Pada awalnya
terbentuknya budaya islam di Samudra Pasai dimulai dari masyarakat pedalaman
sampai ke masyarakat kerajaan. Dan pada akhirnya samudra pasai menjadikan
kerajaan/negara tersebut sebagai pusat pengajaran Agama. Hal tersebut terus
saja berkembang dan mencapai keemasannya, walaupun suatu ketika kedudukan perekonomian dan
politik semakin menyusut.
2. Pola Sulawesi Selatan
Pola islamisasi
yang disulawesi selatan melalui konversi keraton atau pusat kekuasan. Dalam
sejarah Islam di Asia Tenggara, pola dimulai oleh kerajaan malaka. Proses
islamisasi berlangsung dalam suatu
struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologi. Konversi agama
menunjukkan kemampuan raja. Karena seorang penguasa terhindar dari penghinaan
rakyatnya dalam masalah kenegaraan.
3. Pola Jawa
Pola ini muncul
ketika kekuasaan Kerajaan Demak setelah Menggantikan Kerajaan Majapahit. Banyak
yang hal yang harus diterapakan oleh kerajaan demak dalam mengislamkan Rakyat
jawa, karena Kerajaan demak tidak hanya menghadapi legitimitas politik, tetapi
juga berupa panggilan kultural untuk kontunuitas yang masih berpegang teguh
dengan konsep kekuasaan lama sebagai sesuatu yang jatuh dari orang yang
terpilih. Konsep ini memberi dasar yang sah bagi penguasa keraton yang baru dan
menjadikan idiologi bagi monopoli kekuasaan. Dengan ini Seorang raja menjadi
Sumber kekuasaan dengan gelar Susuhunan . Gelar tersebut dapat digunakan
sebagai Para Pemimpin Agama dan Panatagama: pengatur dan pelindung Agama.
Tradisi jawa ini memperlihatkan wujudnya setelah hegemoni politik Jawa bergeser
dari pesisir pedalaman.
B.
Saran
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari ibu dan
teman-teman mahasiswa yang dapat membangun dan menjadikan makalah ini layak.
DAFTAR
PUSTAKA
Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam
(Dirasah Islamiyah II). Jakarta:
Rajawali Pers.
Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
gunakan bahasa yang sopan..