Minggu, 15 November 2015

makalah kerajaan-kerajaan islam sebelum penjajahan oleh merlin dai



Makalah
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA
Di presentasikan dalam diskusi kelas
Dosen pembibing :
PATTALING,M.Sos.I
Logo-IAIN-Sultan-Amai-Gorontalo.jpg
Di
 S
U
S
U
                                      OLEH  KELOMPOK  9
1.      Merlin Dai
2.      Indrawati Madihutu
PRODI  KOMUNIKASI
FAKULTAS USSHULUDIN DAN DAKWAH
IAIN  SULTAN  AMAI  GORONTALO
T.A 2014/2015

PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Sebelum penjajah Belanda datang ke Indonesia, di Indonesia telah berdiri kerajaan-kerajaan besar seperti : Samudera Pasai dan Aceh Darussalam (Sumatera), Pajang, Demak, Mataram, Cirebon, dan Banten (Jawa),  Banjar dan Kutai (Kalimantan), Gowa-Tallo, Bone, Wajo, Soppeng, dan Luwa (Sulawesi).
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan kembar. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini sebenarnya berdiri. Anas Machmud berpendapat, Kerajaan Aceh berdiri pada abad ke 15 M, di atas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497).
Sedangkan di Pulau Jawa juga berdiri kerajaan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah, kemudian berdiri pula Kesultanan Pajang yang dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Gunung Jati.
Di Kalimantan juga berdiri dua buah kerajaan yaitu kerajaan Banjar yang rajanya bernama Sultan Suruiansyah, dan kerajaan Kutai yang salah satu rajanya bernama Tuan di bandang atau lebih dikenal dengan sebutan Dato’ Ri Bandang.
2.      Rumusan Masalah
1.         Apa saja kerajaan-kerajaan islam pertama  di sumatra ?
2.         Proses tumbuh dan berkembangnya kerajaan - kerajaan islam di jawa ?
3.         Proses tumbuh dan berkembangnya kerajaan – kerajaan islam di kalimantan , maluku , dan sulawesi ?
4.         Hubungan politik dan keagamaan antara kerajaan – kerajaan islam ?
5.         Apa saja Tiga pola “ PEMBENTUKAN BUDAYA” yang terlihat dalam proses pembentukan negara Aceh,Sulawesi Selatan, dan  Jawa ?



PEMBAHASAN
A.    Kerajaan-Kerajaan Islam Pertama Di Sumatera
1.      Samudera Pasai
Kerajaan Pasai adalah Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh. Kemunculan pertama kalinya diperkirakan abad ke-13 M, sebagai proses dari hasil Islamisasi daerah-daerah pinggir pantai yang pernah disinggahi para pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya. Bukti berdirinya kerajaan ini adalah dengan adanya nisan kubur yang terbuat dari batu granit asal Samudera Pasai. Dan nisan itu, dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Malik Al-Shaleh adalah raja pertama kerajaan tersebut dan merupakan pendiri kerajaan itu. Hal ini diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas berbagai sumber yang dilakukan sarjana-sarjana Barat, khususnya Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P.Molquette, J.L.Moens, J.Hushoff Poll, G.P.Rouffaer, H.K.J.Cowan, dan lain-lain.
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu sejalan dengan suramnya peranan kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memeganag peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.
2.      Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Aceh Besar. Disini pula terletak ibu kotanya. Kurang begitu diketahui kapan kerajaan ini muncul atau berdiri. Anas Machmud berpendapat, kerajaan Aceh berdiri pada abad ke-15 M, diatas puing-puing kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam. Menurutnya pada masa pemerintahannya, Aceh Darussalam mulai mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan karena saudagar-saudagar Muslim yang sebelumya berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatan mereka ke Aceh, setelah Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511 M.
Sebagai akibat penaklukan Malaka Utara melalaui selat Karimata dari Portugis itu, jalan dagang yang sebelumaya dari laut Jawa ke Sunda dan menyusur pantai Barat Sumatera, kemudian ke Aceh. Dengan demikian Aceh ramai dikunjungi saudagar dari berbagai negeri.
B.     Tumbuh Dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam Di Jawa
1.      Demak
Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa, kerajaan ini muncul ketika melemahnya Raja Majapahit. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Walisongo bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi Raja pertama kerajaan Demak. Gelar Raden Fatah adalah Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Demak sebelumnya adalah Bintoro yang  merupakan daerah vasal Majapahit yang diberikan oleh Raja Majapahit kepada Raden Patah.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Dikatakan, ia adalah seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Campa. Ia digantikan anaknya yang bernama Sambrang Lor, dikenal juga dengan julukan Pati Unus. Menurut Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. Menurutnya tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu rencana serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya memuncak ketika Malaka ditaklukkan Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian tahun 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar.
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang dilantik sebagai Sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Ia memulai pemerintahan pada tahun 1524-1546. Pada masa Sultan Demak yang ketiga inilah Islam dikembangkan keseluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Penaklukan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan oleh gabungan Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan Tuban jatuh ke bawah kekuasaan Demak diperkirakan pada tahun 1527 itu juga.


2.      Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang sebagai pewaris kerajaan Islam di Demak. Kesultanan yang terletak di Kartasura sekarang itu merupakan kerajaan Islam yang pertama yang terletak di pedalaman pulau Jawa. Usia kesultanan ini tidak panjang, kekuasaaan dan kebesarannya kemudian diambil oleh kerajaan Mataram.
Sultan atau Raja yang pertama adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, lereng gunung Merapi. Oleh Raja Demak ketiga yaitu Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangklat sebagai Raja pajang setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya.
3.      Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Aria Penangsang. Sebagai hadiah atasnya, Sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram kepada Ki Pamanahan yang menurunkan Raja-raja Mataram Islam kemudian.
Pada tahun 1577 M, Ki Gede Pamanahan menempati Istana barunya di Mataram. Dia digantikan putranya, Senopati, pada tahun 1584 dan dikukuhkan sebagai Raja Mataram oleh Sultan Pajang.
4.      Cirebon
Kesultanan Cirebon adalah kerajaan Islam yang pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan oleh salah satu anggota Walisongo, yaitu Sunan Gunung Jati. Diawal abad ke-16, Cirebon merupkan daerah kecil dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan disana yang bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan darah dengan Raja Pajajaran.
5.      Banten
Kerajaan di Banten merupakan perluasan Islam yang dilakukan oleh kerajaan Cirebon yang dipimpin oleh Sunan Gunung jati. Perluasan wilayah itu dimulai dengan pendudukan Sunda oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M.

3.      Tumbuh Dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam Di Kalimantan, Maluku, Dan Sulawesi
1.      Kalimantan
a.      Kerajaan Banjar Di Kalimantan Selatan
Kerajaan ini muncul ketika terjadi peristiwa pertentangan dalam keluarga istana, antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaann Daha, dengan pamannya yang bernama Pangeran Tumenggung. Ketika Raja Sukarama hampir tiba ajalnya, Ia berwasiat agar yang menggantikannya adalah cucunya Raden Samudera. Keempat putranya tentu tidak menerima wasiat itu.
Pertentangan itu menimbulkan keluarnya Pangeran Samudera dari kerajaan dan berkelana sampai ke kerajaan Demak. Ia meminta bantuan disana, dan akhirnya kerajaan Demak mau membantu pangeran Samudera asalkan dia mau menganut ajaran Islam dan akhirnya berhasil dan kerajaan itu berkembang menjadi kerajaan Islam.
b.      Kerajaan Kutai Di Kalimantan Timur
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang diantaranya adalah Tuan Bandang, yang dikenal dengan Dato’ Ri Bandang dari Makasar, dan yang lainya adalah Tuan Tunggan Parangan. Setelah pengislaman, Dato’ Ri Bandang kembali ke Makasar dan Tuan Tunggang  kembali ke Kutai dan melalui yang terakhir inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu, segera dibangun masjid sebagai tempat pengajaran agama Islam. Yang pertama adalah Raja Mahkota sendiri, kemudian Pangeran, kemudian Para menteri, panglima dan hulubalang dan akhirnya rakyat biasa. Hal ini terjadi pada tahun 1575 M.
2.      Maluku
Kerajaan ini berdiri sekitar tahun 1406, Raja Ternate memeluk Islam, nama raja itu adalah Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturunan Ningrat Jawa. Namun raja yang benar-benar memeluk agama Islam adalah raja yang bernama Zayn Al-Abidin pada tahun 1486-1500 M.
3.      Sulawesi
Kerajaan Gowa-Tallo merupakan kerajaan kembar yang saling berbatasan, biasanya disebut dengan kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di semenanjung barat daya pulau Sulawesi. Kerajaan tersebut menerima ajaran agama Islam dari Gresik atau Giri yang tersebar dalam proses Islamisasi diseluruh nusantara. Kemudian kerajaan kembar Goa-Tallo menyampaikan “pesan Islam” kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, yang lebih tua, Wajo, Soppeng, dan Bone.
4.      Hubungan Politik dan Keagamaan antara kerajaan Islam di Nusantara
            Hubungan antara satu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan daerah-daerah Islam di Indonesia bagian Timur, terutama Maluku. Adalah dalam rangka penyebaran Islam itu pula, Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak, untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
            Dalam bidang politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli pelayaran dan perdagangan.
            Meskipun demikian, kalau kepentingan politik dan ekonomi antar kerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan kerajaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara Pajang dan Demak, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering satu kerajaan Islam meminta bantuan pada pihak lain, terutama Kompeni Belanda, untuk mengalahkan kerajaan Islam yang lain.

Hubungan antar kerajaan-kerajaan Islam lebih banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian Aceh yang dikenal dengan Serambi Makkah menjadi pusat pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar keseluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang menuntut ilmu ke sana. Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastra dan keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi-isi karya itu sering kali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam itu telah merintis terwujudnya idiom kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi budaya yang makin erat.
            Perdebatan antara hubungan Islam dan politik tidak akan pernah berhenti, baik itu di dunia Islam maupun di Indonesia. Di Indonesia, relasi antara Islam dan politik sudah ada semenjak Islam masuk, akan tetapi perdebatan yang sistematis baru terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Dimana perdebatan itu begitu vulgar ketika diadakannya rapat BPPUPKI dan memuncak dengan keluarnya piagam Jakarta. Namun, pada akhirnya hubungan antara Islam dan politik dalam bentuk formal tidak terealisasi dalam konstitusi Indonesia, sehingga jalan alternatifnya adalah terbentuklah Pancasila sebagai ideologi Negara Indonesia.
Pancasila yang bernafaskan sekuler ini sudah menjadi postulat politik bagi system politik di Indonesia, sehingga terasa tidak ada ruang lagi bagi Islam politik di Indonesia. Jika ada itu pun hanya sebatas pada tatanan subtansi bukan pada tatanan formalitas. Jadi eksistensi Islam politik Indonesia masih tahap dialektika dalam kekangan ideologi Pancasila. Namun, cita-cita untuk mendirikan Negara Islam akan tetap selalu ada di masyarakat Indonesia. Tetapi pilihan untuk sekulerisme bukan merupakan pilihan yang buruk untuk Indonesia dalam menanggapi relasi antara Islam dan politik.
Disisi lain, peranan partai politik terutama partai-partai Islam akan tetap menghiasi perdebatan politik Islam di Indonesia. Sehingga partai-partai Islam bisa jadi indicator bahwa politik Islam tetap eksis di Indonesia.
Hubungan antara politik dan keagamaan atau politik dan Islam dengan kata lain, politik dalam Islam yang berarti ada negara dan pemerintahan dalam Islam.
5.      Pola-pola Pembentukan Kerajaan Islam di Nusantara
Menurut Taufik Abdullah, ada tiga pola dalam proses pembentukan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, ketika Samudera Pasai berdiri pada abad ke-13 sampai abad ke-17 ketika kerajaan Gowa-Tallo resmi masuk Islam.
1.      Pola Samudera Pasai.
Lahirnya Kerajaan  Samudera  Pasai berlangsung melalui perubahan  dari negara  yang segmenter,  atau mereuah menurut istilah Bustanus Salatin, ke negara yang  terpusat. Di sini proses Islamisasi sejalan dengan proses pembentukan kerajaan terpusat, yang menggantikan kerajaan segmenter. Sebagaimana halnya sebuah kerajaan baru, Samudera Pasai tidak saja berhadapan dengan golongan-golongan yang belum ditundukkan dan diislamkan dari wilayah pedalaman, tetapi juga harus menyelesaikan pertentangan politik serta pertentangan keluarga. Dalam proses perkembangannya menjadi negara terpusat, Samudera Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama. Pola dari negara segmenter menjadi negara terpusat, juga diambil oleh Aceh Darussalam, yang setelah membebaskan diri dari Piddie, kemudian mengalahkan Samudera Pasai pada tahun 1524. Kecenderungan historis yang sama juga diperlihatkan oleh Sulu dan Manguindanao.
2.      Pola Melaka
Baik Sejarah Melayu maupun laporan  Portugis memperlihatkan bahwa Islamisasi Malaka dimulai setelah para pedagang Islam dan para "mullah" berhasil mengislamkan keluarga kerajaan atau, bisa juga raja mengambil inisiatif untuk menjadikan dirinya penganut Islam. Dengan kata lain, proses Islamisasi berlangsung dalam satu struktur negara yang, seperti dikatakan dalam Sejarah Melayu, telah memiliki basis legitimasi geneologis. Pola Islamisasi melalui konversi keraton atau pusat kekuasaan juga dapat ditemukan di kota-kota pelabuhan yang lain. Ternate dan Gowa-Tallo diislamkan oleh masyarakat dagang masing-masing, yang jumlah serta peran politiknya terus berkembang.
Tidak seperti di Samudra Pasai, Islamisasi di Malaka, Gowa-Tallo dan sebagainya, tidak memberi landasan bagi pembentukan negara. Islam tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dari organisasi kekuasaan, seperti umpamanya  yang terjadi di Samudra Pasai. Konversi agama dijalankan, tetapi pusat kekuasaan telah ada lebih dulu. Dari perbandingan beberapa tipe Islamisasi dan pembentuknya negara ini, menurut Taufik Abdullah,  muncul dua pola yang menonjol. Yang pertama adalah situasi di mana Islam memainkan peranan dalam pembentukan negara. Yang kedua adalah keadaan di mana Islam harus menghadapi masalah akomodasi struktural. Tetapi dalam kedua pola perpindahan agama tersebut, negara, baik yang berupa kadipaten-kadipaten yang terletak di pinggir-pinggir sungai maupun kerajaan maritim yang relatif terpusat, berperan sebagai "jembatan penyebrangan" Islamisasi bagi wilayah sekitarnya.
3.      Pola Jawa
Di sini Islam tampaknya tidak punya kebebasan untuk memformulasikan struktur dan sistem kekuasaan, sebagaimana di Pasai. Soalnya jelas: Islam sudah harus berhadapan dengan sistem politik dan kekuasaan yang sudah lama mapan, dengan pusatnya keraton Majapahit. Benar, komunitas pedagang muslim sudah mendapat tempat di pusat-pusat politik pada abad ke-11 dan kemudian membesar pada abad ke-14. Tapi baru abad ke-14 komunitas itu menjadi ancaman yang serius bagi keraton pusat.  Ini pun setelah Majapahit melemah, menyusul konflik internal keluarga kerajaan dan berbagai pemberontakan lokal.
Syahdan, situasi yang runyam di pusat keraton itulah, yang membuka peluang kepada pada para saudagar kaya di berbagai kabupaten di wilayah pesisir untuk menjauh dari kekuasaan raja. Berbekal keuntungan besar dari perdagangan internasional, para pedagang besar itu tidak saja masuk Islam, tapi juga membangun komunitas-komunitas politik yang independen. Maka begitulah, kita kemudian mengenal Demak, Jepara, Rembang, Tuban, Gresik dan Surabaya, tampil sebagai pusat-pusat perdagangan, aktivitas agama dan politik.


Sesudah keraton pusat menjadi goyah, maka keraton-keraton kecil mulai bersaing untuk menggantikan keraton pusat dan Demaklah akhirnya yang menggantikan. Kerajaan ini, dengan posisinya barunya itu, tidak saja memegang hegemoni politik, tetapi juga menjadi "jembatan penyeberangan" Islam yang paling penting di Jawa. Walaupun mencapai keberhasilan politik dengan cepat dan mainkan peran sebagai "jembatan penyebrangan" keagamaan paling penting, Demak tidak mempunyai kebebasan struktural. Sebagai pengganti keraton pusat, Majapahit, Demak tidak saja harus menghadapi masalah legitimasi politik, tetapi juga panggilan kultural untuk kotinuitas.
Dilema kultural dari dominasi politik Islam di dalam suasana tradisi Ciwa-Budhistik, dengan konsep kesusastraan yang konsentrik, telah jauh menukik ke dalam kesadaran, menjadi lebih jelas setelah keraton dipindahkan oleh anak angkat Sultan Trenggana, Jaka Tingkir, ke Pajang di pedalaman Kerajaan.
6.      Islam dan Negara di Indonesia
Politik ini berdasarkan agama, sedangkan agama di Indonesia mayoritas adalah Islam. Maka politik yang berdasarkan Islam tidaklah terdapat “Tipu Muslihat dan Kelicikan”. Yang ada hanya budi pekerti yang luhur yang sesuai dengan arti dari pada Islam, isinya, sasarannya dan pesan-pesannya.
Islam tidak menerima tipudaya selain di dalam perang yang sifatnya mencari kemenangan dalam melawan musuh yang kejam dan penuh khianat, tipu daya dan kelicikan akal.
Sejarah Indonesia memperlihatkan pola hubungan yang khas antara agama dan negara. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah menghiasi sejarah Indonesia memperlihatkan pola hubungan ini. Kerajaan Mataram pertama dengan agama Hindu, Sriwijaya dengan agama Budha, Majapahit dengan Hindu Siwa. Relasi kuasa antara agama dan kerajaan menunjukkan hubungan yang saling memberikan legitimasi secara simbiotik.

Pengalaman Islam juga memperlihatkan hal yang sama. Taufik Abdullah (1989) mencatat empat pola hubungan antara Islam dengan negara dalam sejarah Indonesia, yaitu :
1.      Tumbuhnya kerajaan Islam dari kampung-kampung kecil yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota dan akhirnya menjadi pusat-pusat kerajaan, seperti Perlak dan Samudera Pasal di Aceh. Di Aceh belum ada komunitas agama pada waktu Islam masuk. Dari kampung-kampung Islam Itu kemudian berkembang menjadi kerajaan besar, khususnya di bawah Sultan iskandar Muda dan Iskandar Tsani. Ketika Itu hukum agama menjadi hukum negara. Tidak ada konflik antara hukum agama dan hukum adat, karena memang hukum adat tidak ada.
2.      Adalah pola yang terjadi di Sumatera Barat. Ketika Islam datang sudah ada hukum adat. Konflik dan perang pernah terjadi selama 16 tahun yang dikenal dengan Perang Paderi. Perang itu kemudian diakhiri dengan penyelesaian bahwa keduanya diakui secara formal dalam kalimat adat bersendi syara' dan syara' bersendi Kitabullah. Eksistensi hukum adat diakui sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, tetapi dalam kenyataan tidak dapat berjalan sepenuhnya. Terutama dalam pembagian waris, seorang ninik mamak tetap membagi waris secara adat, dan tidak selalu sepenuhnya sebagaimana diatur dalam hukum Islam.
3.      Pola ketika Kerajaan Gowa, yang kini diteruskan oleh Kesultanan di Semenanjung Malaysia. Sebelum kedatangan Islam sudah ada kerajaan yang kuat yang menggunakan adat Istiadat dan hukum pra-lslam. Islam datang melalui para pedagang dan ulama. Islam masuk keraton secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Akhirnya menghasilkan kerajaan yang diislamkan secara berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur-unsur pra-lslam. Dalam proses penyerapan ini tidak terdapat konflik berkekerasan, karena keduanya berjalan seiring. Ajaran Islam diakui dan ajaran sebelumnya tetap berjalan.

4.      Pola Jawa. Sebelum Islam datang, kerajaan- kerajaan di Pulau Jawa telah memiliki tradisi yang kuat dalam bentuk Hindu-Budha yang digabung dengan kepercayaan sebelum agama-agama ini datang, yang kini dianggap sebagai budaya Jawa asli. Budaya Jawa asli Ini diberi kedudukan yang tinggi di kerajaan. Pada waktu Islam datang, Islam diberi tempat untuk memperkuat legitimasi kerajaan dan kedudukannya sama dengan budaya Jawa asli Ketika Negara Republik Indonesia berdiri, penentuan dasar negara menjadi ajang perdebatan yang melelahkan. Setidaknya ada dua kubu yang bertentangan, yaitu kubu yang menghendaki Islam sebagal dasar negara atau menghendaki negara Islam dan pihak yang menghendaki Indonesia menjadi negara kesatuan nasional yang memisahkan agama dan dari negara. Pertentangan itu diselesaikan dengan jalan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Ditegaskan pula bahwa asas Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 mencerminkan asas tauhid (keesaan Tuhan) dalam Islam.
Untuk mengisi kekosongan legitimasi keagamaan yang dianggap penting untuk menjamin kemungkinan terlaksananya hukum Islam, dibentuklah Kementerian Agama (kini Departemen Agama). Terbentuknya lembaga ini tidak diragukan lagi melanjutkan tradisi kelembagaan agama yang pernah terjadi di masa-masa sebelumnya, bahkan semenjak kerajaan Islam dahulu. Departemen Agama merupakan jawaban atas problem kerajaan mengenai hubungan agama dan negara.
Untuk mengelola kehidupan umat beragama, negara mengeluarkan kebijakan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 1 tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya, serta Surat Keputusan (SK) Menteri Agama No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran Agama. Menteri Agama saat itu dijabat oleh Alamsyah Ratu Prawiranegara.
Surat keputusan ini merekomendasikan kepada pemerintah daerah dan Departemen Agama setempat untuk membimbing, mengarahkan, dan mengawasi, serta menyelesaikan pertentangan yang mungkin timbul secara adil dan tidak memihak. Kebijakan ini merupakan cermin campur tangan negara terhadap kehidupan umat beragama.
Di awal-awal kemerdekaan, sekelompok orang Islam yang tidak setuju dengan kebijakan politik pemerintah menempuh jalan kekerasan, misalnya Darul Islam, Tentara Islam Indonesia. Ada pula sekelompok orang Islam yang menempuh jalan legal melalui proses politik di parlemen, seperti yang dilakukan oleh Partai Masyumi. Kedua kelompok itu mencoba terus memperjuangkan agar Islam merupakan nilai yang harus diwujudkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Kedua kelompok itu mendapat pertentangan yang keras, baik dari pemerintah maupun Konstituante. Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena tokoh- tokohnya, seperti Syafruddin Prawiranegara dan Muhammad Natsir bergabung dengan PRRI. Hubungan antara Islam dan negara pada masa ini oleh Affen Gafar (1993) disebut sebagai hubungan yang antagonistik. Hubungan yang antagonis menjadi pemicu konflik antara pemerintah dan umat Islam.









PENUTUP
A.  Kesimpulan
1.      Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Sumatera
a.       Samudera Pasai
b.      Aceh Darussalam
2.      Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
a.       Demak
b.      Pajang
c.       Mataram
d.      Cirebon
e.       Banten
3.      Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan, Maluku, dan Sulawesi.
a.       Kalimantan
1)      Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan
2)      Kutai di Kalimantan Timur
b.      Maluku
c.       Sulawesi

1.      Gowa
2.      Tallo
3.      Bone
4.      Wajo
5.      Soppeng
6.      Luwu

Semenjak abad  ke -13, ketika samudra pasai berdiri sampai abad  ke-17 dan disaat istana Gowa Tallo resmi menganut Islam, Muncullah  3 pola pembentukan budaya yang memperlihatkan bentuknya dalam proses pembentukan negara yang telah terjadi, tiga pola itu adalah :
1.       Pola Samudra Pasai
Pada awalnya terbentuknya budaya islam di Samudra Pasai dimulai dari masyarakat pedalaman sampai ke masyarakat kerajaan. Dan pada akhirnya samudra pasai menjadikan kerajaan/negara tersebut sebagai pusat pengajaran Agama. Hal tersebut terus saja berkembang dan mencapai keemasannya, walaupun  suatu ketika kedudukan perekonomian dan politik semakin menyusut.
2.       Pola Sulawesi Selatan
Pola islamisasi yang disulawesi selatan melalui konversi keraton atau pusat kekuasan. Dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, pola dimulai oleh kerajaan malaka. Proses islamisasi berlangsung dalam  suatu struktur negara yang telah memiliki basis legitimasi geneologi. Konversi agama menunjukkan kemampuan raja. Karena seorang penguasa terhindar dari penghinaan rakyatnya dalam masalah kenegaraan.
3.       Pola Jawa
Pola ini muncul ketika kekuasaan Kerajaan Demak setelah Menggantikan Kerajaan Majapahit. Banyak yang hal yang harus diterapakan oleh kerajaan demak dalam mengislamkan Rakyat jawa, karena Kerajaan demak tidak hanya menghadapi legitimitas politik, tetapi juga berupa panggilan kultural untuk kontunuitas yang masih berpegang teguh dengan konsep kekuasaan lama sebagai sesuatu yang jatuh dari orang yang terpilih. Konsep ini memberi dasar yang sah bagi penguasa keraton yang baru dan menjadikan idiologi bagi monopoli kekuasaan. Dengan ini Seorang raja menjadi Sumber kekuasaan dengan gelar Susuhunan . Gelar tersebut dapat digunakan sebagai Para Pemimpin Agama dan Panatagama: pengatur dan pelindung Agama. Tradisi jawa ini memperlihatkan wujudnya setelah hegemoni politik Jawa bergeser dari pesisir pedalaman.
B.     Saran
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari ibu dan teman-teman mahasiswa yang dapat membangun dan menjadikan makalah ini layak.







DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Jakarta:
Rajawali Pers.
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gunakan bahasa yang sopan..

Makalah sosiologi komunikasi- paradigma keilmuan dan teori komunikasi

SOSIOLOGI KOMUNIKASI : PARADIGMA KEILMUAN DAN TEORI KOMUNIKASI DISUSUN OLEH : RAHMAT ABAS MOHAMAD RIFAI DJ RAUF ERWI...