Makalah
“PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING”
(Dipresentasikan dalam diskusi kelas ; Mata Kuliah:Bimbingan Konseling)
Dosen Pemandu:
Dewi Seri Yusuf
DISUSUN
OLEH:
Sri
Elyanti Inadjo (NIM: 143022040)
Adam
Malik Poduyo (NIM: 143022001)
PRODI KOMUNIKASI
PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN
DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI
GORONTALO
T.A 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bimbingan konseling adalah mata kuliah yang membahas tentang
masalah-masalah yang sering muncul dalam kehidupan sosial. Masalah adalah
sesuatu yang sering muncul kapanpun dan dimanapun. Tidak ada seorangpun manusia
yang tidak memiliki masalah selama hidupnya.
Melalui makalah tentang pendekatan-pendekatan bimbingan konseling ini,
kita dapat mengetahui dan memberi solusi atas semua masalah yang menghadang
nanti.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka
rumusan permasalahan yang ada dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian
dari pendekatan konseling
2. Jelaskan
macam-macam pendekatan konseling
3. Bagaimana
kendala dan penyelesaian dari pendekatan konseling
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendekatan Konseling
Kata Pendekatan terdiri dari kata dasar dekat dan
mendapat imbuhan Pe-an yang berarti hal, usaha atau perbuatan mendekati atau
mendekatkan. Jadi Pendekatan Bimbingan dan Konseling adalah
suatu usaha yang dilakukan oleh seorang konselor untuk mendekati kliennya
sehingga klien mau menceritakan masalahnya.[1]
Metode dalam pengertian harfiyah, adalah "jalan
yang harus dilalui" untuk mencapai suatu tujuan, karena kata metode
berasal dari meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti
jalan. Namun pengertian hakiki dari metode tersebut adalah segala sarana yang
dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik sarana tersebut
berupa fisik seperti alat peraga, administrasi, dan pergedungan di mana proses
kegiatan bimbingan berlangsung, bahkan pelaksana metode seperti pembimbing
sendiri adalah termasuk metode juga dan sarana non fisik seperti kurikulum,
contoh, teladan, sikap dan pandangan pelaksana metode, lingkungan yang
menunjang suksesnya bimbingan dan cara-cara pendekatan dan pemahaman terhadap
sasaran metode seperti wawancara, angket, tes psikologis, sosiometri dan lain
sebagainya.
B. Macam –macam
Pendekatan Konseling
Adapun
macam-macam dari pendekatan konseling yaitu:
1.
Pendekatan Rasional Emotif
Terapi
Rasional Emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa
manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur
maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki
kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan
mengatakan,mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan
mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan kearah
menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali
kesalahan-kesalahan, perfeksionisme dan mencela diri, serta menghindari
pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecendrungan untuk terpaku
pada pola-pola tingkah laku lama dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam
sabotase diri.
Manusia
tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. TRE menegaskan bahwa
manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi
potensi-potensi dirinya dan bias mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan
masyarakatnya.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi dan
bertindak secara simultan.jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab
perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang
spesifik.[2]
Teori konseling Rasional Emotif dengan istilah lain
dikenal dengan “rasional emotive therapy” yang dikembangkan oleh Dr. Albert
Ellist, seorang ahli Clinic Psychology (Psikologi Klinis).[3]
Atas dasar pengalaman selama prakteknya dan kemudian dihubungkan
dengan teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert Ellist mencoba untuk
mengembangkan suatu teori yang disebut “ Rational-Emotive Therapy” dan
selanjutnya popular dengan singkatan RET.[4]
Tujuan dari
Albert Ellist pada intinya adalah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis
tentang diri sendiri dan lingkungannya.Konselor ata terapis berusaha agar klien
makin menyadari pikiran dan kata-kata sendiri, serta mengadakan pendekatan yng
tegas, melatih klien untuk bisa berfikir dan berbuat yang lebih realistis dan
rasional.
a). Konsep Dasar Konseling
Rasional-Emotif
Ciri-ciri konseling Nasional-Emotif dapat diuraikan
sebagai berikut:
·
Dalam menelusuri masalah klien yang
dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan dengan klien.
·
Dalam proses hubungan konseling
harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien.
·
Tercipta dan terpeliharanya hubungan
baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara
berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
·
Dalam proses hubungan konseling,
konselor tidak erlalu banyak menelusuri kehidupan masa lampau klien.
·
Diagnosis (rumusan masalah) yang
dilakukan dengan konseling rasional-emotif bertujuan untuk membuka
ketidaklogisan pola pikir dari klien.
Hakikat masalah yang dihadapi klien dalam pendekatan
konseling rasional-emotif itu muncul disebabkan oleh ketidaklogisan klien dalam
berfikir.Ketidaklogisan berpikir ini selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan
hambatan, gangguan atau kesulitan-kesulitan emosional dalam melihat dan menafsirkan
objek fakta yang dihadapinya.
Menurut konseling rasional-emotif ini, individu merasa
dicela,diejek,dan tidak diacuhkan oleh individu lain, karena ia memiliki
keyakinan dan berpikir bahwa individu lain itu mencela dan tidak mengacuhkan
dirinya. Kondisi yang demikian inilah yang disebut cara beerpikir yang tidak
rasional oleh konseling rasional emotif.
Tujuan utama dari konseling rasional-emotif ialah
menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara berfikir yang tidak logis itulah
merupakan penyebab gangguan emosionalnya. Atau dengan kata lain konseling
rasional emotif inimenunjukkan ini bertujuan membantu klien membebaskan
dirinya dari cara berfikir atau ide-idenya yang tidak logis dan menggantinya
dengan cara-cara yang logis.
b). Proses dan Teknik Konseling
Rasional-Emotif
Fungsi pengumpulan Data dalam Konseling Rasional-
Emotif. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam konseling rasional-emotif
konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan masalampau klien.Sehingga
dengan demikian berarti bahwa dalam konseling ini konselor tidak banyak
melakukan pengumpulan data unutk keperluan analisis maupun diagnosis
sebagaimana halnya dalam konseling klinikal.
Penerapan
teori konseling rasional-emotif ini sangat ideal apabila diterapakandi sekolah,
terutama oleh guru , konselor, atau guru pembimbing yang berwibawa.
Guru pembimbing atau konselor yang berwibawa akan
mampu membantu siswa yang mengalami gangguan mental atau gangguan emosional
untuk mengarahkan secara langsung pada para siswa yang memiliki pola
berpikir mereka yang tidak rasional, serta mempengaruhi cara
berpikir mereka yang tidak rasional untuk meninggalkan anggapan atau pandangan
yang keliru itu menjadi rasional dan logis.
Guru melalui
mata pelajaran yang diajarkan kepada siswanya secara langsung bisa mengaitkan
pola bimbingan yang terpadu untuk mempengaruhi para siswanya untuk segera
meninggalkan tindakan, pikiran, dan perasaan yang tidak rasional.
2.
Pendekatan Analisis Transaksional
Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional
yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk
digunakan dalam terapi kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi
lain dalam arti ia adalah suatu terapi kontraktual dan desisional. Analisisn
Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien yang dengan jelas
menyatakan tujuan-tujuan dan arti proses terapi, juga berfokus pada
putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien, dan menekankan kemampuan klien
untuk membuat putusan-putusan baru.
AT cenderung
mempersamakan kekuasaan terapis dan klien dan menjadi tanggung jawab klien
untuk menentukan apa yang akan diubahnya agar perubahan menjadi kenyataan,
klien mengubah tingkah lakunya secara aktif. Selama pertemuan terapi, klien
melakukan evaluasi terhadap arah hidupnya, berusaha memahami putusan-putusan
awal yang telah dibuatnya, serta menginsafibahwa sekarang ia menetapkan orang
dan memulai suatu arah baru dalam hidupnya.Pada dasarnya, AT berasumsi bahwa
orang-orang bias belajar mempercayai dirinya sendiri, dan mengungkapkan
perasaan-perasaannya.[5]
Dr. Eric Berne yang bertugas sebagai konsultan pada
Surgeon General diminta untuk membuka program terapi kelompok di Ford Ord, bagi
para serdadu yang baru usai Perang Dunia Kedua.
Akibat
dorongan itu Eric Berne menciptakan suatu teknik untuk menganalisis
transaksi-transaksi antar pribadi dalam berkomunikasi. Prinsip-prinsip yang
dikembangkan melalui analisis transaksional diperkenalkan pertama kali pada
tahun 1956 oleh Eric Berne, dan kemudian disusul dengan pembahasan yang
mendalam di depan Regional Meeting of The American GroupPsychoterapy Asosiation
di Los Angeles, bulan Nopember 1957, berjudul : “ Transactional Analysis : A
New and Effective Method Group Therapy”.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne
dalam analisis transaksional adalah upaya untuk merangsang tanggung jawab
pribadi atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional,
tujuan-tujuan yang realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar dan pemahaman
dalam berhubungan dengan orang lain.
Secara historis analisis transaksional dari Eric Berne
berasal dari psikoanalisis yang dipergunakan dalam konseling/terapi kelompok,
tetapi kini telah dipergunakan pula secara meluas dalam konseling/terapi
individual.[6]
3. Pendekatan Afektif
a. Psikoanalisis
Psikoanalisis (Psychoanalysis) yang bersumber pada
sederetan pandangan Sigmund Freud dalam abad 20 mengalami perkembangan yang
pesat. Pengarang ahli yang berpegang pada beberapa konsep Freud yang paling
dasar, namun mengadakan modifikasi sesuai dengan perkembangan ilmu psikologi, disebut Noe-Freudians, antara
lain Carl Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih dan Harry
Stack Sullivan. Terapi psikoanalitis berusaha membantu individu untuk mengatasi
ketegangan psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang
berlebih-lebihan (anxiety). Sebelum orang datang kepada ahli terapi, dia telah
berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu, tetapi tidak berhasil.
Menurut pandangan Freud setiap manusia didorong-dorong
oleh kekuatan irasional di dalam dirinya sendiri, oleh motif-motif yang tidak
disadarinya sendiri dan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah yang bersifat biologis
dan naluri. Bilamana beraneka dorongan itu tidak selaras dengan apa yang
diperkenankan serta diperbolehkan menurut kata hati atau kode moral seseorang,
timbul ketegangan psikis yang disertai kecemasan dan ketidaktenangan tinggi.
Kalau seseorang tidak berhasil mengontrol
dan membendung kecemasan itu dengan cara rasional dan realistis dia akan
menggunakan prosedur yang irasional dan tidak realistis, yaitu menggunakan
salah satu mekanisme pertahanan diri demi menjaga keseimbangan psikis dan rasa
harga diri, seperti rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi dan sebagainya.
Selama proses terapi klien menerapkan terhadap konselor corak hubungan
antarpribadi sama seperti dilakukannya dimasa yang lampau terhadap orang-orang
yang berperanan penting dalam hidupnya.
Dengan kata lain, perasaan terpendam terhadap orang
tertentu serta segala konflik yang dialami dalam komunikasi dengan pihak /orang
itu, selama prose terapi dihidupkan kembali dan dilimpahkan pada konselor
sebagai wakil dari pihak/orang itu (transference). Perasaan, pertentangan dan
konflik yang sengaja ditimbulkaan itu, kemudian diolah kembali sampai kien
menjadi sadar akan berbagai dorongan yang ternyata berperanan sekali dalam
kehidupanya sampai sekarang. Kesadaran ini memungkinkan suatu perubahan keadaan
dalam batin klien dan dalam cara mengatur kehidupannya sendiri.
b. Psikologi Individual
Aliran Psikologi Individual (Individual Psychology)
dipelopori Alfred Adler dan dikembangkan sebagai sistematika terapi oleh Rudolf
Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, yang dikenal dengan nama Adlerian Counseling.
Dalam corak terapi ini perhatian utama diberikan pada kebutuhan seseorang untuk
menempatkan diri dalam kelompok sosialnya. Ketiga konsep pokok dalam corak
terapi ini adalah rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai
keunggulan (striving for superiority) dan gaya hidup perseorangan (a person’s
lifestyle). Manusia kerap mengalami rasa rendah diri karena berbagai kelemahan
dan kekurangan yang mereka alami dan berusaha untuk menghilangkan
ketidakseimbangan dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencari kompensasi
terhadap rasa rendahnya itu, dengan mengejar kesempurnaan dan keunggulan dalam
satu atau beberapa hal.
Dengan demikian manusia bermotivasi untuk menguasai
situasi hidupya, sehingga dia merasa puas dapat menunjukkan keunggulannya,
paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Untuk mencapai itu anak kecil sudah
mengembangkan suatu gaya hidup perseorangan, yang mewarnai keseluruhan
perilakunya dikemudian hari, meskipun
biasanya tidak disadari sendiri. Selama proses terapi konselor
mengumpulkan informasi tentang kehidupan klien dimasa sekarang dan dimasa yang
lampau sejak berusia sangat muda, antara lain berbagai peristiwa di masa kecil
yang masih diingat, urutan kelahiran dalam keluarga, impian-impian, dan
keanehan dalam perilaku. Dalam semua informasi itu konselor menggali perasaan
rendah diri pada klien yang bertahan sampai sekarang dan merupakan segala
usahanya untuk menutupi perasaannnya itu melalui suatu bentuk kompensasi,
sehingga mulai tampak gaya hidup
perseorangan. Selanjutnya konselor membantu klien untuk mengembangkan
tujuan-tujuan yang lebih membahagiakan bagi klien dan merancang suatu gaya
hidup yang lebih kostruktif.
Dalam melayani anak muda yang meneunjukkan gajala
salah suai dalam bergaul, konselor
berusaha menemukan perasaan rendah diri yang mendasari usaha kompensasi dengan
bertingkah laku aneh, yang ternyata menimbulkan berbagai gangguan. Menurut
pendapat Schmidt (1993) banyak unsur
dalam psikologi individual cocok untuk diterapkan dalam individual maupun
konseling kelompok.
c. Teori Gestalt
Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan oleh
Frederick Perls. Dalam corak terapi ini konselor membantu klien untuk
menghayati diri sendiri dalam situasi kehidupan yang sekarang dan menyadari
halangan yang diciptakannya sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari
konstelasi pengalaman hidup. Keempat konsep pokok dalam terapi ini ialah
penghayatan diri sendiri dalam situasi hidup yang konkret (awareness) tanggung
jawab perseorangan (pesonal responnsibility) keutuhan dan kebulatan kepribadian
seseorang (unity of the person) dan penyadaran akan berbagai halangan yang
menghambat penghayatan diri sendiri (blocked awarness). Klien harus
mengusahakan keterpaduan dan integrasi dari berpikir , berperasaan dan
berperilaku, yang mencakup semua pengalamannya yang nyata pada saat sekarang.
Klien tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan keukaran yang dihadapi,
karena berbicara itu mudah menjadi suatu permainan memutarbalikkan kata-kata
(word game) tanpa disertai peghayatan seluruh perasaannya sendiri dan tanpa
menyadari tanggungjawabya sendiri.
Oleh karena itu, konselor mendesak klien untuk
menggali macam-macam perasaan yang belum terungkapkan secara jujur dan terbuka
, seperti jengkel, sakit hati, duka cita dan sedih. Rasa bersalah, rasa
berdosa, rasa kesal atau rasa diasingan. Semua rasa itu belum pernah dibiarkan
muncul ke permukaan dan masuk alam kesadaran klien, namun berpengaruh sekali
dalam kehidupan batin (unfinishid business). Isi batin ini harus diterima
sebagi milik klien sendiri dan tanggung jawabnya sendiri serta tidak boleh
dipandang sebagai tanggung jawab orang lain dengan demikian klien menyadari
bahwa dia telah memasuki suatu jalan buntu, tetapi sekaligus diakui bahwa
seharusnya dia berdiri di atas kaki sendiri dan harus mendapat dukungan moral
dari diri sendiri, bukan dari orang lain.
Dengan bantuan konselor, klien lalu mulai membuka
jalan buntu itu dengan meninggalkan berbagai siasat untuk mendapatkan simpati
dari orang lain dan mulai mengambil peran lebih aktif dalam mengatur
kehidupannya sendiri. Berbeda dengan kebanyakan terapi lain, Terapy Gestald
membuat klien merasa frustasi (berada di jalan buntu), tetapi frustasi itu
dipandag sebagai landasan bagi usaha baru yang lebih konstruktif . dengan kata
lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cermin bagi diri sendiri
pula.
d. Konseling Eksistensi
Aliran Konseling Eksistensial (Existential Counseling)
tidak terikat pada nama salah seorang pelopor. Konseling eksistensial dilakukan
dengan berbagai variasi, yang semuanya dengan satu atau lain cara mengambil
inspirasinya dari karya-karya ilmuwan falsafah di eropa barat, seperti seperti
Paul Tillich, Martin Heidegger, Jean Paul Sarte, Ludwig Binswanger dan Eugene
Minkowski. Konseling eksistensial sangat menekankan implikasi dari falsafah
hidup ini dalam menghayati makna kehidupan manusia didunia ini. Jajaran
promotor dari konseling eksistensial di Amirika Serikat adalah Rollo May,
Victor E. Frankl dan Adrian Van Kaam.
Konseling eksistensial berfokus pada situasi kehidupan
manusia di alam semesta yang mencakup kemampuan kesadaran diri, kebebasan untuk
memilih dan menentukan nasib hidupnya
sendiri. Tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam
kehidupan batin, usaha untuk menemukan makna dari kehidupan manusia, keberadan
dalam komunikasi dengan manusia lain, kematian serta kecenderungan dasar untuk
mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Selama wawancara konseling, klien
membuka pikiran dan perasaannya, bagaimana dia menghayati dan meresapi
kehidupan dunia ini. sebaliknya, konselor juga membuka diri dan ingin
berkomunikasi sebagai manusia yang menghadapi beraneka tuntutan kehidupan
manusiawi yang sama. Melalui proses komunikasi antar pribadi ini, konseli mulai
semakin menyadari kemampuannya sendiri untuk mengatur dan menentukan arah
hidupnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini klien belajar dari konselor yang
mengkomunikasikan sikap hidup penuh rasa dedikasi terhadap segala tuntutan
hidup sebagai tanggung jawab pribagi. Klien diharapkan akan menjadi semakin
mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantangan dengan menempatkannya
dalam kerangka suatu sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai manusia, yang harus menerima realita hidup sebagaimanan
adanya dan harus memperkaya diri sendiri melalui penghayatan makna
kehidupannya. Klien yang melibatkan diri sepenuhnya dalam hidup secara otentik
(commitment to life), akan dapat menemukan apa yang sebaiknya dilakukannya pada
saat tertentu dalam kehidupannya.
4. Pendekatan Kognitif
a. Analisis
Transaksional
Analisis Transaksional (Transaksional Analisys)
dipelopori oleh Erick Berne dan diuraikan dalam beberapa buku yang dikarang
oleh Berne sendiri, seperti Games People Play (1964) atau dikarang oleh orang
lain, seperti Thomas A. Harris dalm buku I’m Ok-You’re Ok (1969). Analisis
transaksional menekankan pada pola interaksi antara orang-orang, baik yang
verbal maupun yang non verbal (transactions). Corak konseling ini dapat
diterapkan dalam konseling individual , tetapi dianggap paling bermanfaat dalam
konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung
mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama
diberikan pada manipulasi pada siasat yang digunakan oleh orang dalam
berkomunikasi satu sama lain (games people play). Dibedakan antara tiga pola
berperilaku atau keadaan diri (ego states) yaitu orangtua (parent), orang
dewasa (adult), dan anak (child).
Keadaan orang tua (parent ego state) adalah
berperilaku yang dianjurkan oleh pihak orang atau instansi sosial yang
berperanan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung,
sekolah dan badan kegamaan. Dalam keadaan ini seseorang berpesan kepada dirinya
sendiri dan kepada orang lain seperti yang dialami sendiri dari pihak orang
atau instansi yang memiliki wewenng
terhadapnya. Keadaan orang dewasa (adult ego state) adalah bagian kepribadian
yang berhadapan dengan realitas sebagaimana adanya dan mengolah fakta serta
data untuk membuat keputusan-keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi
ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan bertindak menurut apa yang
dianggap tepat. Keadaan anak (child ego state) adalah bagian kepribadian yang
didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang
disukai, seperti dapat disaksikan dalam perilaku tindakan anak kecil. Dalam
keadaan ini orang berperilaku secara bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang,
hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya sendiri. Tiga keadaan diri
ini tidak terikat pada umur atau fase perkembangan tertentu, sehingga seoarang
yang berumur dewasa bearada dalam salah satu dari tiga keadaan diri dan dapat
berpindah dari keadaan diri yang satu ke keadaan diri yang lain.
Selama proses konseling orang belajar
mengidentifikasikan tiga keadaan diri pada dirinya sendiri dan menyadari
keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukan pola interaksi
dengan orang-orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola
interaksi sosial sesuai dengan berbagai keadaan diri (transactions) dan
membantu untuk mengnalisis diri sendiri sehingga disadari keadaan diri mana
yang dominan dalam perilakunya. Dalam berhadapan dengan orang lain pada suatu
saat orang dapat berbicara dalam keadaan diri tertentu dan mengharapkan
tanggapan dari pihak yang lain dalam keadaan diri yang sama, misalnya suami
bertanya kepada istri, “makan malam nanti pukul berapa?” dan mendapat jawaban
“pukul 7” (orang dewasa bicara dengan orang dewasa).
Bilamana suami mendapat jawaban dari istri, “Jangan
memburu-buru saya! Kamu tidak pernah memberi waktu kepada saya menghidangkn
makanan yang lezat, lihat nih!”. Dia
tidak mendapatkan jawaban dari istrinya dalm keadaan orang dewasa, tetapi dalam
keadaan anak-anak. Dengan demikian komunikasi mereka pada saat itu tidak lancar
dan dapat menghasilkan rasa sakit hati di kedua belah pihak. Istri itu mungkin
mengharapkan tanda simpati dari suami atas jerih payahnya sebagai ibu rumah
tangga (a positive stroke), namun cara yang ditempuh untuk mendapatkan tanda
penghargaan itu adalah dengan menimbulkan rasa kasihan dalam hati suami. Dengan
kata lain ia memanipulsi hati suaminya (play game) yang mengganggu kontak
antarpribadi sebagai suami dan istri.
Jadi tujuan dari konseling menurut pendekatan analisis
transaksional ialah supaya klien menjadi sadar akan seluruh hambatan yang
diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orng lain, serta kemudian
mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi
dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi
yang sehat.
Harris mendiskripsikan empat sikap hidup terhadap diri
sendiri dan orang lain, yaitu:
1) I am okay-you are okay: sikap hidup seseorang
yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan baik dan membina kotak sosial yang
memuaskan.
2) I am okay-you are not okay: sikap hidup
seseorang yang melimpahkan kesukaran-kesukarannya sendiri pada orang lain dan
menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang
lain
3) I am not
okay-you are okey: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan tak berdaya,
dibanding dengan orang lain. Dia cenderung untuk mengasingkan diri atau
melayani orang lain untuk mendapatkan pengakuan dan simpati
4) I am not okay-you not okey: sikap hidup
seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya
dibawa oleh pasang surutnya kehidupan.
b. Sistematika Carkhuff
Sistematika ini merupakan pola pendekatan tersendiri,
yang dikembangkan oleh Robbert R. Carkhuff dan diuraikan serta dipertanggung
jawabkan dalam banyak publikasi, antara lain dalam buku yang berjudul The Skill
Of Helping (1979) dan The Art Of Helping IV (1980). Sistematika ini dapat
dipandang sebagai suatu pola eklektik dalam konseling karena merupakan
perpaduan dari berbagai unsur yang diambil dari beberapa konsepsi serta
pendekatan terhadap konseling, namun berbeda degan Konseling Eklektif yang
dikembangkan oleh Frederick Thorne. Dalam sistematika Carkhuff proses konseling
dipandang sebagai suatu proses belajar, baik bagi klien sebagai orang yang
dibantu (helpee) maupun bagi konselor sebagai orang yang membantu (helper).
Klien akan belajar bagaimana caranya menghadapi dan
mengatasi suatu masalah dengan berpikir dan bertindak secara lebih konstruktif,
bahkan klien belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu pada saat
sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi permasalahan, kesulitan,
persoalan yang lain di kemudian hari.
Konselor akan belajar, melalui penghayatan
pengalamannya membantu orang-orang tertentu, meningkatkan kemampuannya untuk
membantu orang lain dengan memperoleh semakin banyak keterampilan praktis
(skills) dalam berwawancara konseling. Dalam sejarah perkembangan teori-teori
konseling, Carkhuff menemukan dua konsepsi pokok serta dua pola dasar
pendekatan dalam konseling, yaitu konsepsi serta pendekatan yang menekankan
memahami (insight approach) dan konsepsi serta pendekatan yang mengutamakan
bertindak (action approach) kedua pola pendekatan harus dipandang sebagai pola yang
berat sebelah dan kurang menjamin keberhasilan dalam konseling karena memahami
tidak dituangkan dalam suatu program nyata dan bertindak tidak didasarkan pada
pengertian serta keyakinan yang harus menjamin kelangsungan dari berbagai
tindakan yang diambil. Supaya orang mengubah diri dan mengubah perilakunya
dibutuhkan baik memahami maupun bertindak.
Oleh karena itu, kedua pola pendekatan harus dipadukan
dalam suatu pendekatan sistematis yang menjamin efisiensi dan efektifitas dari
proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata dalam perilaku
klien. Orang yang menjalani proses konseling akan melewati tiga fase pokok
dalam proses itu, yaitu eksplorasi (eksploration), pemahaman diri
(understanding) dan bertindak (action).
Untuk membantu klien melewati tiga fase itu secara
tuntas, konselor harus memiliki keterampilan berwawancara konseling.
Keterampilan ini harus berakar dalam kondisi-kondisi internal yang harus
dipenuhi oleh konselor, kondisi-kondisi itu oleh Carkhuff disebut dimensi-dimensi
pada konselor. Penelitian terhadap dimensi itu ternyata menunjukkan suatu garis
perkembangan, mulai dari pengertian terhadap pengalaman pikiran dan perasaan
klien (emphatic understanding), yang dilengkapi dengan penerimaan tak bersyarat
(unconditional positive regard) dan keikhlasan (genuiness). Sebagaimana tampak
dalam karya-karya tulis Carl Rogers.
Tiga dimensi itu dikembangkan lebih lanjut sebagai
ketujuh kondisi yang memperlancar proses komunikasi antar pribadi (facilitative
conditions), yaitu pengertian yang tepat terhadap klien (accurate emphaty);
penghargaan (respect), kejujuran dan keterbukaan (genuinesess), kemampuan
berbicara secara konkrit dan spesifik (concretness, specificity), kemampuan dan
kerelaan untuk membuka diri sejauh menyangkut kepentingan klien
(selfdisclosure), kemampuan untuk menghadapkan klien dengan segera (immediacy).
Semua dimensi itu kemudian dikelompokkan sebagai
dimensi mendengarkan (responsive
dimension) untuk membantu klien memahami diri dan situasi kehidupannya,
yang meliputi empati, penghargaan dan kemampuan berbicara secara spesifik dan
dimensi memprakarsai (initiative dimension) untuk membantu klien menyusun suatu
rencana kerja dan bertindak sesuai dengan rencana itu, yang meliputi
keikhlasan, kemampuan menghadapkan klien pada dirinya sendiri, kemampuan
menanggapi dengan segera dan berbicara secara konkret. Lalu dua dimensi
mendengarkan dan memprakarsai itu oleh Car-huff diwujudkann dan dijabarkan
menjadi keterampilan-keterampilan tertentu (skills) yang digunakan oleh konselor
untuk membantu klien melewati fase-fase
pokok dalam konseling.
Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan untuk
menaruh perhatian dan menciptakan suasana berkomunikasi antarpribadi (attending
skills), ketrampilanmemperoleh pemahaman yang tepat mengenai klien dan
mengkomunikasikan pemahaman itu secara memadai (responding skills),
keterampilan membantu klien untuk lebih memahami diri sendiri dan situasi
kehidupannya dengan melihat semua implikasi dari susituasi yang menyangkut
dirinya secara pribadi (personalizing skills),
keterampilan membantu klien menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dan mengambil urutan langkah konkret untuk mencapai semua tujuan itu
(initiating skills).
Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi,
pemahaman diri dan bertindak didahului oleh suatu fase persiapan, dimana klien
melibatkan diri dalam proses konseling (involvement).
5. Pendekatan Behavioristik
a.Reality Therapy
Reality Therapy dikembangkan oleh William Glasser.
Yang dimaksudkan dengan istilah reality ialah suatu standar atau patokan
obyektif yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas
atau kenyataan ini dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial atau
realitas moral. Sesuai dengan pandangan behavioristik, yang terutama disoroti
pada seseorang adalah tingkah lakunya yang nyata. Tingkah laku itu dievaluasi
menurut kesesuaian dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang ada. Glesser
memfokuskan perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan
menitik beratkan tanggung jawab yang dipikul setiap orang untuk berprilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang
dihadapi. Penyimpangan atau ketimpangan dalam tingkah laku seseorang, dipandang
sebagai akibat dari tidak adanya kesadaran mengenai tanggung jawab pribadi,
bukan sebagai indikasi atau gejala adanya gangguan dalam kesehatan mental
menurut konsepsi tradisional.
Bagi, Glesser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa
tanggung jawab dalam semua perilaku. Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan
untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar, yaitu kebutuhan
untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai orang
yang berharga dan berguna tetapi tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemampuan untuk memenuhi
kedua kebutuhan dasar itu tidak dimiliki sejak lahir, tetapi harus diperoleh
melalui proses belajar. Dengan demikin tanggung jawab merupakan hasil dari
aneka usaha belajar memenuhi kebutuhan itu dalam realitas hidup, yang
menghadapkan orang pada norma-norma moralitas, adat istiadat sosial,
nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak gerik yang lain. Orang perorangan
tidak diperkenankan untuk bertindak sesuka hati, dia harus menunjukkan tingkah
laku yang tepat dan menghindari tingkah laku yang salah (rigth and wrong
behavior).
Selama proses konseling, konselor membantu klien untuk
menilai kembali tingkah lakunya dari sudut bertindak secara bertanggung jawab.
Dengan demikian, proses konseling bagi klien menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan dimana perlu
menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat. Sampai
teraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan tata
cara bertindak secara tepat dan meluruskan bila klien tidak bertindak secara bertanggung
jawab. Konselor menolak segala macam alasan untuk membela diri bila klien tidak
menunjukkan tanggung jawab itu, apabila menimpakan kesalahannya sendiri pada
orang lain atau situasi dan kondisi. Kalau klien ingin menikmati kebahagiaan
dalam hidup dia harus menjadi orang yang bersikap dan bertindak penuh tanggung
jawab ditengah-tengah medan kenyataan hidup.
Menurut pendapat Schmidt (1993) pendekatan ini cocok
utuk diterapkan oleh konselor sekolah karena tekanan yang diberikan pada
kemampuan individu untuk mengatur kehidupannya sendiri dan berani
mempertanggungjawabkan tingkah lakunya. Namun harus diingat bahwa pendapat itu menyangkut suatu
lingkungan kebudayaan yang mengutamakan pengembangan segala potensi yang
dimiliki oleh seorang dan karena itu mungkin kurang selaras dengan ciri
kebudayaan yang menghargai kelancaran dalam hubungan sosial biarpun berarti
mengorbankan suatu potensi yang sebenarnya dimiliki.
b. Multimodal Counseling
Nama “Multimodal Counseling” sulit diganti dengan
istilah bahasa Indonesia yang sesuai, pendekatan konseling ini memadukan
berbagai unsur (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal
counseling), sehingga terciptalah sistematika yang baru. Mengingat sejarah
perkembangan demikin, pendekatan ini bersifat eklektik. Pelopornya adalah
Lazarus yang mengembangkan pendekatan ini selama 1970-an dan menyaksikan
perluasan aplikasi pendekatan ini oleh boleh banyak konselor selama dasawarsa
berikutnya, antara lain karena sifatnya yang sangat eklektik dan berasaskan
wawasan yang sangat luas. Pendekatan ini berakar dalam medan teori
behavioristik, tetapi sekaligus mencakup banyak unsur lain yang saling
berkaitan dalam lingkup sejarah perkembangan individu, proses belajar dan
hubungan antar pribadi. Selain itu, pendekatan ini sekaligus dirancang untuk
mengembangkan suatu proses konseling
yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Seperti seorang penjahit
memotong kain menurut ukuran badan orang yang akan mengenakan baju baru.
Untuk itu selama prose konseling perhatian konselor
terpusatkan pada tujuh faktor atau komponen dalam pola kehidupan klien, yaitu
perilaku nyata (Behavior), alam perasaan (Affectt), proses persepsi melalui
alat indera (Sensation), konsep diri daalam berbagai aspeknya (imagery)
keyakinan dan nilai-nilai dasar sebagai pegangan berpikir dan menentukan sikap
(Cognition), hubungan antar pribadi dengan orang yang dekat (Interpersonal
Relationships) dan keadaan fisik serta kesehatan jasmani (Biological
Functioning). Setiap komponen atau mode ditinjau dan dibahas untuk mengumpulkan
data yang relevan.
Bilamana diambil ketujuh huruf pertama dalam Bahasa
Inggris, dengan menggantikan huruf yang terakhir B menjadi D (Drug=obat),
diperoleh akronim BASIC ID yang menjadi kerangka berpikir dan pegangan mental
bagi konselor dalam mengumpulkan data tentang pola kehidupan klien. Data yang
terhimpun itu kemudian klien dapat dikonsepsikan secara jelas dan ditemukan
sumber timbulnya masalah pada saat sekarang. Kemudian ditentukan cara
menanggulani masalah yang paling tepat dan cara membantu klien mengatasi yang
paling efisien dengan memiih dari sekian banyak siasat yang tersedi, misalnya
perubahan tingkah laku secara langsung, rehabililitasi kognitif atau lain lain
siasat.
Ahli konseling yang lain, D. Keat, kemudian
mengadaptasikan format akronim BASIC ID dengan kebutuhan yang khas bagi anak
yang belum mencapai umur masa remaja dan belum sebegitu termotivasi untuk
mengubah tingkah lakunya atas dasar prakarsa sendiri (motivasi ekstrinik versus
motivasi instrinsik). Pengadaptasian ini menghasilkan akronim baru, yaitu
HELPING dengan komponen kesehatan (Health), perasaan (Emotion), belajar
(Learning), bersifat pribadi (Personal ), pandangan dan bayangan mengenai diri sendiri
(Imagination), kebutuhan untuk mengetahui (Need to know) dan pendampingan serta
bimbingan (Guidance of behaviors). Menurut pandangan Schmidt dalam bukunya
Counseling in Schools (1993), pendekatan konseling menurt sistematika Lazarus
dan Keat sangat sesuailah dengan setuasi kehidupan yang kerap dijumpai dan
memungkinkan untuk memfokuskan perhatian pada salah satu komponen dalam pola
kehidupan yang sebaiknya mengalami perubahan
lebih dahulu .
Misalnya diusahakan perubahan dalam cara memandang
sesuatu dan penentuan sikap (cognition) yang diperkirakan akan berdampak
positif terhadap proses perkembangan selanjutnya atau dimulai suatu perubahan
dalam perawatan kejasmanian biarpun sedikit demi sedikit (Drugs). Dengan kata
lain, hal/unsur/komponen yang paling menonjol dapat ditangai lebih dahulu tanpa mengusahakan suatu perubahan menyeluruh
dan radikal, yang biasanya sangat sulit dilakukan oleh orang yang masih berumur
muda.[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam proses pendekatan dibutuhkan teknik dan
cara-cara yang bertahap agar menemukan penyelesaian dalam masalah yang di
hadapi, dan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik sarana tersebut berupa
fisik seperti alat peraga, administrasi, dan pergedungan di mana proses
kegiatan bimbingan berlangsung, bahkan pelaksana metode
seperti pembimbing sendiri adalah termasuk metode juga dan sarana non fisik
seperti kurikulum, contoh, teladan, sikap dan pandangan pelaksana metode.
Pendekatan Rasional Emotif adalah
aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan
potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional
dan jahat.
v Pendekatan
Analisis Transaksional adalah psikoterapi transaksional
yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk
digunakan dalam terapi kelompok. Analisis Transaksional melibatkan suatu
kontrak yang dibuat oleh klien yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan
arti proses terapi, juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh
klien, dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru.
v Pendekatan Afektif terbagi
atas:
a.
Psikoanalisis (Psychoanalysis)
yaitu Terapi psikoanalitis berusaha membantu individu untuk mengatasi
ketegangan psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang
berlebih-lebihan (anxiety),
b. Psikologi
Individual yaitu kebutuhan seseorang untuk menempatkan diri dalam
kelompok sosialnya. Seperti rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk
mencapai keunggulan (striving for superiority) dan gaya hidup perseorangan (a
person’s lifestyle).
c. Teori
Gestalt yaitu terapi menghayati diri sendiri dalam situasi
kehidupan yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakannya sendiri untuk
merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup.
d. Konseling
Eksistensi yaitu berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam
semesta yang mencakup kemampuan kesadaran diri, kebebasan untuk memilih dan
menentukan nasib hidupnya sendiri.
v Pendekatan Kognitif terbagi
atas:
a. Analisis
Transaksional yaitu Corak
konseling ini dapat diterapkan dalam konseling individual , tetapi dianggap
paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan
untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok.
b.
Sistematika Carkhuff yaitu cara
menghadapi dan mengatasi suatu masalah dengan berpikir dan bertindak secara
lebih konstruktif, bahkan klien belajar bahwa cara menyelesaikan masalah
tertentu pada saat sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi
permasalahan, kesulitan, persoalan yang lain di kemudian hari.
v Pendekatan Behavioristik
a.Reality Therapy yaitu
Realitas atau kenyataan ini dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas
sosial atau realitas moral.
b.Multimodal
Counseling yaitu pendekatan konseling ini memadukan berbagai
unsur (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal counseling),
sehingga terciptalah sistematika yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Gerald Corey, Teori dan Praktek
Konseling dan Psikoterapi, Cet. III, ( Bandung: Eresco, 1997)
Dewa Ketut Sukardi, Pengantar
Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Cet.1, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2000)
http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/04/01/teori-teori-konseling/
[2] Gerald
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Cet. III, ( Bandung:
Eresco, 1997), hlm. 124
[3] Dewa Ketut
Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
Cet.1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hlm. 98
[5] Gerald
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Cet. III
(Bandung: PT. Eresco,1997), hlm. 159-160
[6] Dewa Ketut
Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Cet.1, ( Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 2000), hlm. 112
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
gunakan bahasa yang sopan..