Minggu, 15 November 2015

makalah pendekatan bimbingan konseling oleh sri eliyanti inadjo



Makalah
“PENDEKATAN BIMBINGAN KONSELING”
(Dipresentasikan dalam diskusi kelas ; Mata Kuliah:Bimbingan Konseling)

Dosen Pemandu:
Dewi Seri Yusuf



DISUSUN OLEH:

Sri Elyanti Inadjo (NIM: 143022040)
Adam Malik Poduyo (NIM: 143022001)


PRODI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM (KPI)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
T.A 2015/2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bimbingan konseling adalah mata kuliah yang membahas tentang masalah-masalah yang sering muncul dalam kehidupan sosial. Masalah adalah sesuatu yang sering muncul kapanpun dan dimanapun. Tidak ada seorangpun manusia yang tidak memiliki masalah selama hidupnya.
Melalui makalah tentang pendekatan-pendekatan bimbingan konseling ini, kita dapat mengetahui dan memberi solusi atas semua masalah yang menghadang nanti.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan permasalahan yang ada dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian dari pendekatan konseling
2. Jelaskan macam-macam pendekatan konseling
3. Bagaimana kendala dan penyelesaian dari pendekatan konseling














BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendekatan Konseling
Kata Pendekatan terdiri dari kata dasar dekat dan mendapat imbuhan Pe-an yang berarti hal, usaha atau perbuatan mendekati atau mendekatkan. Jadi Pendekatan Bimbingan dan Konseling adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seorang konselor untuk mendekati kliennya sehingga klien mau menceritakan masalahnya.[1]
Metode dalam pengertian harfiyah, adalah "jalan yang harus dilalui" untuk mencapai suatu tujuan, karena kata metode berasal dari meta yang berarti melalui dan hodos yang berarti jalan. Namun pengertian hakiki dari metode tersebut adalah segala sarana yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik sarana tersebut berupa fisik seperti alat peraga, administrasi, dan pergedungan di mana proses kegiatan bimbingan berlangsung, bahkan pelaksana metode seperti pembimbing sendiri adalah termasuk metode juga dan sarana non fisik seperti kurikulum, contoh, teladan, sikap dan pandangan pelaksana metode, lingkungan yang menunjang suksesnya bimbingan dan cara-cara pendekatan dan pemahaman terhadap sasaran metode seperti wawancara, angket, tes psikologis, sosiometri dan lain sebagainya.
B.     Macam –macam  Pendekatan Konseling
Adapun macam-macam dari pendekatan konseling yaitu:
1.      Pendekatan Rasional Emotif
Terapi Rasional Emotif (TRE) adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat. Manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan untuk memelihara diri, berbahagia, berpikir dan mengatakan,mencintai, bergabung dengan orang lain serta tumbuh dan mengaktualkan diri. Akan tetapi manusia memiliki kecendrungan-kecendrungan kearah menghancurkan diri, menghindari pemikiran, berlambat-lambat, menyesali  kesalahan-kesalahan,  perfeksionisme dan mencela diri, serta menghindari pertumbuhan dan aktualisasi diri. Manusia pun berkecendrungan untuk terpaku pada pola-pola tingkah laku lama dan mencari berbagai cara untuk terlibat dalam sabotase diri.
Manusia tidak ditakdirkan untuk menjadi korban pengondisian awal. TRE menegaskan bahwa manusia memiliki sumber-sumber yang tak terhingga bagi aktualisasi potensi-potensi dirinya dan bias mengubah ketentuan-ketentuan pribadi dan masyarakatnya.
TRE menekankan bahwa manusia berpikir, beremosi dan bertindak secara simultan.jarang manusia beremosi tanpa berpikir, sebab perasaan-perasaan biasanya dicetuskan oleh persepsi atas suatu situasi yang spesifik.[2]
Teori konseling Rasional Emotif dengan istilah lain dikenal dengan “rasional emotive therapy” yang dikembangkan oleh Dr. Albert Ellist, seorang ahli Clinic Psychology (Psikologi Klinis).[3]
Atas dasar pengalaman selama prakteknya dan kemudian dihubungkan dengan teori tingkah laku belajar, maka akhirnya Albert Ellist mencoba untuk mengembangkan suatu teori yang disebut “ Rational-Emotive Therapy” dan selanjutnya popular dengan singkatan RET.[4]
Tujuan dari Albert Ellist pada intinya adalah untuk mengatasi pikiran yang tidak logis tentang diri sendiri dan lingkungannya.Konselor ata terapis berusaha agar klien makin menyadari pikiran dan kata-kata sendiri, serta mengadakan pendekatan yng tegas, melatih klien untuk bisa berfikir dan berbuat yang lebih realistis dan rasional.


a). Konsep Dasar Konseling Rasional-Emotif
Ciri-ciri konseling Nasional-Emotif dapat diuraikan sebagai berikut:
·         Dalam menelusuri masalah klien yang dibantunya, konselor berperan lebih aktif dibandingkan dengan klien.
·         Dalam proses hubungan konseling harus diciptakan dan dipelihara hubungan baik dengan klien.
·         Tercipta dan terpeliharanya hubungan baik ini dipergunakan oleh konselor untuk membantu klien mengubah cara berfikirnya yang tidak rasional menjadi rasional.
·         Dalam proses hubungan konseling, konselor tidak erlalu banyak menelusuri kehidupan masa lampau klien.
·         Diagnosis (rumusan masalah) yang dilakukan dengan konseling rasional-emotif bertujuan untuk membuka ketidaklogisan pola pikir dari klien.
Hakikat masalah yang dihadapi klien dalam pendekatan konseling rasional-emotif itu muncul disebabkan oleh ketidaklogisan klien dalam berfikir.Ketidaklogisan berpikir ini selalu berkaitan dan bahkan menimbulkan hambatan, gangguan atau kesulitan-kesulitan emosional dalam melihat dan menafsirkan objek fakta yang dihadapinya.
Menurut konseling rasional-emotif ini, individu merasa dicela,diejek,dan tidak diacuhkan oleh individu lain, karena ia memiliki keyakinan dan berpikir bahwa individu lain itu mencela dan tidak mengacuhkan dirinya. Kondisi yang demikian inilah yang disebut cara beerpikir yang tidak rasional oleh konseling rasional emotif.
Tujuan utama dari konseling rasional-emotif ialah menunjukkan dan menyadarkan klien bahwa cara berfikir yang tidak logis itulah merupakan penyebab gangguan emosionalnya. Atau dengan kata lain konseling rasional emotif  inimenunjukkan ini bertujuan membantu klien membebaskan dirinya dari cara berfikir atau ide-idenya yang tidak logis dan menggantinya dengan cara-cara yang logis.

b). Proses dan Teknik Konseling Rasional-Emotif
Fungsi pengumpulan Data dalam Konseling Rasional- Emotif. Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam konseling rasional-emotif konselor tidak terlalu banyak menelusuri kehidupan masalampau klien.Sehingga dengan demikian berarti bahwa dalam konseling ini konselor tidak banyak melakukan pengumpulan data unutk keperluan analisis maupun diagnosis sebagaimana halnya dalam konseling klinikal.
Penerapan teori konseling rasional-emotif ini sangat ideal apabila diterapakandi sekolah, terutama oleh guru , konselor, atau guru pembimbing yang berwibawa.
Guru pembimbing atau konselor yang berwibawa akan mampu membantu siswa yang mengalami gangguan mental atau gangguan emosional untuk mengarahkan secara langsung pada para siswa yang memiliki pola berpikir  mereka yang  tidak rasional, serta mempengaruhi cara berpikir mereka yang tidak rasional untuk meninggalkan anggapan atau pandangan yang keliru itu menjadi rasional dan logis.
Guru melalui mata pelajaran yang diajarkan kepada siswanya secara langsung bisa mengaitkan pola bimbingan yang terpadu untuk mempengaruhi para siswanya untuk segera meninggalkan tindakan, pikiran, dan perasaan yang tidak rasional.
2.      Pendekatan Analisis Transaksional
Analisis Transaksional (AT) adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan dalam terapi  kelompok. AT berbeda dengan sebagian besar terapi lain dalam arti ia adalah suatu terapi kontraktual dan desisional. Analisisn Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arti proses terapi, juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien, dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru.
AT cenderung mempersamakan kekuasaan terapis dan klien dan menjadi tanggung jawab klien untuk menentukan apa yang akan diubahnya agar perubahan menjadi kenyataan, klien mengubah tingkah lakunya secara aktif. Selama pertemuan terapi, klien melakukan evaluasi terhadap arah hidupnya, berusaha memahami putusan-putusan awal yang telah dibuatnya, serta menginsafibahwa sekarang ia menetapkan orang dan memulai suatu arah baru dalam hidupnya.Pada dasarnya, AT berasumsi bahwa orang-orang bias belajar mempercayai dirinya sendiri, dan mengungkapkan perasaan-perasaannya.[5]
Dr. Eric Berne yang bertugas sebagai konsultan pada Surgeon General diminta untuk membuka program terapi kelompok di Ford Ord, bagi para serdadu yang baru usai Perang Dunia Kedua.
Akibat dorongan itu Eric Berne menciptakan suatu teknik untuk menganalisis transaksi-transaksi antar pribadi dalam berkomunikasi. Prinsip-prinsip yang dikembangkan melalui analisis transaksional diperkenalkan pertama kali pada tahun 1956 oleh Eric Berne, dan kemudian disusul dengan pembahasan yang mendalam di depan Regional Meeting of The American GroupPsychoterapy Asosiation di Los Angeles, bulan Nopember 1957, berjudul : “ Transactional Analysis : A New and Effective Method Group Therapy”.
Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam analisis transaksional adalah upaya untuk merangsang tanggung jawab pribadi atas tingkah lakunya sendiri, pemikiran yang logis, rasional, tujuan-tujuan yang realistis, berkomunikasi dengan terbuka, wajar dan pemahaman dalam berhubungan dengan orang lain.
Secara historis analisis transaksional dari Eric Berne berasal dari psikoanalisis yang dipergunakan dalam konseling/terapi kelompok, tetapi kini telah dipergunakan pula secara meluas dalam konseling/terapi individual.[6]
3. Pendekatan Afektif
a. Psikoanalisis
Psikoanalisis (Psychoanalysis) yang bersumber pada sederetan pandangan Sigmund Freud dalam abad 20 mengalami perkembangan yang pesat. Pengarang ahli yang berpegang pada beberapa konsep Freud yang paling dasar, namun mengadakan modifikasi sesuai dengan perkembangan  ilmu psikologi, disebut Noe-Freudians, antara lain Carl Jung, Otto Rank, Wilhelm Reich, Karen Horney, Theodore Reih dan Harry Stack Sullivan. Terapi psikoanalitis berusaha membantu individu untuk mengatasi ketegangan psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang berlebih-lebihan (anxiety). Sebelum orang datang kepada ahli terapi, dia telah berusaha untuk menghilangkan ketegangan itu, tetapi tidak berhasil.
Menurut pandangan Freud setiap manusia didorong-dorong oleh kekuatan irasional di dalam dirinya sendiri, oleh motif-motif yang tidak disadarinya sendiri dan oleh kebutuhan-kebutuhan alamiah yang bersifat biologis dan naluri. Bilamana beraneka dorongan itu tidak selaras dengan apa yang diperkenankan serta diperbolehkan menurut kata hati atau kode moral seseorang, timbul ketegangan psikis yang disertai kecemasan dan ketidaktenangan tinggi. Kalau seseorang tidak berhasil mengontrol  dan membendung kecemasan itu dengan cara rasional dan realistis dia akan menggunakan prosedur yang irasional dan tidak realistis, yaitu menggunakan salah satu mekanisme pertahanan diri demi menjaga keseimbangan psikis dan rasa harga diri, seperti rasionalisasi, penyangkalan, proyeksi dan sebagainya. Selama proses terapi klien menerapkan terhadap konselor corak hubungan antarpribadi sama seperti dilakukannya dimasa yang lampau terhadap orang-orang yang berperanan penting dalam hidupnya.
Dengan kata lain, perasaan terpendam terhadap orang tertentu serta segala konflik yang dialami dalam komunikasi dengan pihak /orang itu, selama prose terapi dihidupkan kembali dan dilimpahkan pada konselor sebagai wakil dari pihak/orang itu (transference). Perasaan, pertentangan dan konflik yang sengaja ditimbulkaan itu, kemudian diolah kembali sampai kien menjadi sadar akan berbagai dorongan yang ternyata berperanan sekali dalam kehidupanya sampai sekarang. Kesadaran ini memungkinkan suatu perubahan keadaan dalam batin klien dan dalam cara mengatur kehidupannya sendiri.
b. Psikologi Individual
Aliran Psikologi Individual (Individual Psychology) dipelopori Alfred Adler dan dikembangkan sebagai sistematika terapi oleh Rudolf Dreikurs dan Donald Dinkmeyer, yang dikenal dengan nama Adlerian Counseling. Dalam corak terapi ini perhatian utama diberikan pada kebutuhan seseorang untuk menempatkan diri dalam kelompok sosialnya. Ketiga konsep pokok dalam corak terapi ini adalah rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai keunggulan (striving for superiority) dan gaya hidup perseorangan (a person’s lifestyle). Manusia kerap mengalami rasa rendah diri karena berbagai kelemahan dan kekurangan yang mereka alami dan berusaha untuk menghilangkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri melalui aneka usaha mencari kompensasi terhadap rasa rendahnya itu, dengan mengejar kesempurnaan dan keunggulan dalam satu atau beberapa hal.
Dengan demikian manusia bermotivasi untuk menguasai situasi hidupya, sehingga dia merasa puas dapat menunjukkan keunggulannya, paling sedikit dalam bayangannya sendiri. Untuk mencapai itu anak kecil sudah mengembangkan suatu gaya hidup perseorangan, yang mewarnai keseluruhan perilakunya dikemudian hari, meskipun  biasanya tidak disadari sendiri. Selama proses terapi konselor mengumpulkan informasi tentang kehidupan klien dimasa sekarang dan dimasa yang lampau sejak berusia sangat muda, antara lain berbagai peristiwa di masa kecil yang masih diingat, urutan kelahiran dalam keluarga, impian-impian, dan keanehan dalam perilaku. Dalam semua informasi itu konselor menggali perasaan rendah diri pada klien yang bertahan sampai sekarang dan merupakan segala usahanya untuk menutupi perasaannnya itu melalui suatu bentuk kompensasi, sehingga  mulai tampak gaya hidup perseorangan. Selanjutnya konselor  membantu klien untuk mengembangkan tujuan-tujuan yang lebih membahagiakan bagi klien dan merancang suatu gaya hidup yang lebih kostruktif.
Dalam melayani anak muda yang meneunjukkan gajala salah  suai dalam bergaul, konselor berusaha menemukan perasaan rendah diri yang mendasari usaha kompensasi dengan bertingkah laku aneh, yang ternyata menimbulkan berbagai gangguan. Menurut pendapat  Schmidt (1993) banyak unsur dalam psikologi individual cocok untuk diterapkan dalam individual maupun konseling kelompok.
c. Teori Gestalt
Terapi Gestalt (Gestalt Therapy) dikembangkan oleh Frederick Perls. Dalam corak terapi ini konselor membantu klien untuk menghayati diri sendiri dalam situasi kehidupan yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakannya sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup. Keempat konsep pokok dalam terapi ini ialah penghayatan diri sendiri dalam situasi hidup yang konkret (awareness) tanggung jawab perseorangan (pesonal responnsibility) keutuhan dan kebulatan kepribadian seseorang (unity of the person) dan penyadaran akan berbagai halangan yang menghambat penghayatan diri sendiri (blocked awarness). Klien harus mengusahakan keterpaduan dan integrasi dari berpikir , berperasaan dan berperilaku, yang mencakup semua pengalamannya yang nyata pada saat sekarang. Klien tidak boleh berbicara saja tentang kesulitan dan keukaran yang dihadapi, karena berbicara itu mudah menjadi suatu permainan memutarbalikkan kata-kata (word game) tanpa disertai peghayatan seluruh perasaannya sendiri dan tanpa menyadari tanggungjawabya sendiri.
Oleh karena itu, konselor mendesak klien untuk menggali macam-macam perasaan yang belum terungkapkan secara jujur dan terbuka , seperti jengkel, sakit hati, duka cita dan sedih. Rasa bersalah, rasa berdosa, rasa kesal atau rasa diasingan. Semua rasa itu belum pernah dibiarkan muncul ke permukaan dan masuk alam kesadaran klien, namun berpengaruh sekali dalam kehidupan batin (unfinishid business). Isi batin ini harus diterima sebagi milik klien sendiri dan tanggung jawabnya sendiri serta tidak boleh dipandang sebagai tanggung jawab orang lain dengan demikian klien menyadari bahwa dia telah memasuki suatu jalan buntu, tetapi sekaligus diakui bahwa seharusnya dia berdiri di atas kaki sendiri dan harus mendapat dukungan moral dari diri sendiri, bukan dari orang lain.
Dengan bantuan konselor, klien lalu mulai membuka jalan buntu itu dengan meninggalkan berbagai siasat untuk mendapatkan simpati dari orang lain dan mulai mengambil peran lebih aktif dalam mengatur kehidupannya sendiri. Berbeda dengan kebanyakan terapi lain, Terapy Gestald membuat klien merasa frustasi (berada di jalan buntu), tetapi frustasi itu dipandag sebagai landasan bagi usaha baru yang lebih konstruktif . dengan kata lain, mengakui kegagalan dalam diri sendiri adalah cermin bagi diri sendiri pula.
d. Konseling Eksistensi
Aliran Konseling Eksistensial (Existential Counseling) tidak terikat pada nama salah seorang pelopor. Konseling eksistensial dilakukan dengan berbagai variasi, yang semuanya dengan satu atau lain cara mengambil inspirasinya dari karya-karya ilmuwan falsafah di eropa barat, seperti seperti Paul Tillich, Martin Heidegger, Jean Paul Sarte, Ludwig Binswanger dan Eugene Minkowski. Konseling eksistensial sangat menekankan implikasi dari falsafah hidup ini dalam menghayati makna kehidupan manusia didunia ini. Jajaran promotor dari konseling eksistensial di Amirika Serikat adalah Rollo May, Victor E. Frankl dan Adrian Van Kaam.
Konseling eksistensial berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta yang mencakup kemampuan kesadaran diri, kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya  sendiri. Tanggung jawab pribadi, kecemasan sebagai unsur dasar dalam kehidupan batin, usaha untuk menemukan makna dari kehidupan manusia, keberadan dalam komunikasi dengan manusia lain, kematian serta kecenderungan dasar untuk mengembangkan dirinya semaksimal mungkin. Selama wawancara konseling, klien membuka pikiran dan perasaannya, bagaimana dia menghayati dan meresapi kehidupan dunia ini. sebaliknya, konselor juga membuka diri dan ingin berkomunikasi sebagai manusia yang menghadapi beraneka tuntutan kehidupan manusiawi yang sama. Melalui proses komunikasi antar pribadi ini, konseli mulai semakin menyadari kemampuannya sendiri untuk mengatur dan menentukan arah hidupnya sendiri secara bebas dan bertanggung jawab.
Dalam hal ini klien belajar dari konselor yang mengkomunikasikan sikap hidup penuh rasa dedikasi terhadap segala tuntutan hidup sebagai tanggung jawab pribagi. Klien diharapkan akan menjadi semakin mampu mengatasi beraneka kesulitan dan bermacam tantangan dengan menempatkannya dalam kerangka suatu sikap mendasar terhadap kehidupannya sebagai manusia,  yang harus menerima realita hidup sebagaimanan adanya dan harus memperkaya diri sendiri melalui penghayatan makna kehidupannya. Klien yang melibatkan diri sepenuhnya dalam hidup secara otentik (commitment to life), akan dapat menemukan apa yang sebaiknya dilakukannya pada saat tertentu dalam kehidupannya.
4. Pendekatan Kognitif
a. Analisis Transaksional
Analisis Transaksional (Transaksional Analisys) dipelopori oleh Erick Berne dan diuraikan dalam beberapa buku yang dikarang oleh Berne sendiri, seperti Games People Play (1964) atau dikarang oleh orang lain, seperti Thomas A. Harris dalm buku I’m Ok-You’re Ok (1969). Analisis transaksional menekankan pada pola interaksi antara orang-orang, baik yang verbal maupun yang non verbal (transactions). Corak konseling ini dapat diterapkan dalam konseling individual , tetapi dianggap paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok. Perhatian utama diberikan pada manipulasi pada siasat yang digunakan oleh orang dalam berkomunikasi satu sama lain (games people play). Dibedakan antara tiga pola berperilaku atau keadaan diri (ego states) yaitu orangtua (parent), orang dewasa (adult), dan anak (child).
Keadaan orang tua (parent ego state) adalah berperilaku yang dianjurkan oleh pihak orang atau instansi sosial yang berperanan penting selama masa pendidikan seseorang, seperti orang tua kandung, sekolah dan badan kegamaan. Dalam keadaan ini seseorang berpesan kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain seperti yang dialami sendiri dari pihak orang atau   instansi yang memiliki wewenng terhadapnya. Keadaan orang dewasa (adult ego state) adalah bagian kepribadian yang berhadapan dengan realitas sebagaimana adanya dan mengolah fakta serta data untuk membuat keputusan-keputusan. Segala situasi kehidupan yang dihadapi ditafsirkan untuk kemudian mengambil sikap dan bertindak menurut apa yang dianggap tepat. Keadaan anak (child ego state) adalah bagian kepribadian yang didorong oleh beraneka perasaan spontan dan keinginan untuk melakukan apa yang disukai, seperti dapat disaksikan dalam perilaku tindakan anak kecil. Dalam keadaan ini orang berperilaku secara bebas dan spontan. Pada kebanyakan orang, hal ini berarti bahwa mereka mengejar kesenangannya sendiri. Tiga keadaan diri ini tidak terikat pada umur atau fase perkembangan tertentu, sehingga seoarang yang berumur dewasa bearada dalam salah satu dari tiga keadaan diri dan dapat berpindah dari keadaan diri yang satu ke keadaan diri yang lain.
Selama proses konseling orang belajar mengidentifikasikan tiga keadaan diri pada dirinya sendiri dan menyadari keadaan diri manakah yang menjadi dominan serta menentukan pola interaksi dengan orang-orang lain. Konselor memberikan informasi tentang pola-pola interaksi sosial sesuai dengan berbagai keadaan diri (transactions) dan membantu untuk mengnalisis diri sendiri sehingga disadari keadaan diri mana yang dominan dalam perilakunya. Dalam berhadapan dengan orang lain pada suatu saat orang dapat berbicara dalam keadaan diri tertentu dan mengharapkan tanggapan dari pihak yang lain dalam keadaan diri yang sama, misalnya suami bertanya kepada istri, “makan malam nanti pukul berapa?” dan mendapat jawaban “pukul 7” (orang dewasa bicara dengan orang dewasa).
Bilamana suami mendapat jawaban dari istri, “Jangan memburu-buru saya! Kamu tidak pernah memberi waktu kepada saya menghidangkn makanan yang lezat, lihat nih!”.  Dia tidak mendapatkan jawaban dari istrinya dalm keadaan orang dewasa, tetapi dalam keadaan anak-anak. Dengan demikian komunikasi mereka pada saat itu tidak lancar dan dapat menghasilkan rasa sakit hati di kedua belah pihak. Istri itu mungkin mengharapkan tanda simpati dari suami atas jerih payahnya sebagai ibu rumah tangga (a positive stroke), namun cara yang ditempuh untuk mendapatkan tanda penghargaan itu adalah dengan menimbulkan rasa kasihan dalam hati suami. Dengan kata lain ia memanipulsi hati suaminya (play game) yang mengganggu kontak antarpribadi sebagai suami dan istri.
Jadi tujuan dari konseling menurut pendekatan analisis transaksional ialah supaya klien menjadi sadar akan seluruh hambatan yang diciptakannya sendiri dalam berkomunikasi dengan orng lain, serta kemudian mengembangkan suatu pola interaksi sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi dengan menempatkan diri dalam keadaan diri yang memungkinkan proses komunikasi yang sehat.
Harris mendiskripsikan empat sikap hidup terhadap diri sendiri dan orang lain, yaitu:
1)  I am okay-you are okay: sikap hidup seseorang yang mampu mengatur dirinya sendiri dengan baik dan membina kotak sosial yang memuaskan.
2)   I am okay-you are not okay: sikap hidup seseorang yang melimpahkan kesukaran-kesukarannya sendiri pada orang lain dan menyalahkan orang lain. Dia bersikap sombong dan menjauhkan diri dari orang lain
3) I am not okay-you are okey: sikap hidup seseorang yang merasa depresif dan tak berdaya, dibanding dengan orang lain. Dia cenderung untuk mengasingkan diri atau melayani orang lain untuk mendapatkan pengakuan dan simpati
4)  I am not okay-you not okey: sikap hidup seseorang yang menyerah saja, tidak mempunyai harapan dan membiarkan dirinya dibawa oleh pasang surutnya kehidupan.
b. Sistematika Carkhuff
Sistematika ini merupakan pola pendekatan tersendiri, yang dikembangkan oleh Robbert R. Carkhuff dan diuraikan serta dipertanggung jawabkan dalam banyak publikasi, antara lain dalam buku yang berjudul The Skill Of Helping (1979) dan The Art Of Helping IV (1980). Sistematika ini dapat dipandang sebagai suatu pola eklektik dalam konseling karena merupakan perpaduan dari berbagai unsur yang diambil dari beberapa konsepsi serta pendekatan terhadap konseling, namun berbeda degan Konseling Eklektif yang dikembangkan oleh Frederick Thorne. Dalam sistematika Carkhuff proses konseling dipandang sebagai suatu proses belajar, baik bagi klien sebagai orang yang dibantu (helpee) maupun bagi konselor sebagai orang yang membantu (helper).
Klien akan belajar bagaimana caranya menghadapi dan mengatasi suatu masalah dengan berpikir dan bertindak secara lebih konstruktif, bahkan klien belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu pada saat sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi permasalahan, kesulitan, persoalan yang lain di kemudian hari.
Konselor akan belajar, melalui penghayatan pengalamannya membantu orang-orang tertentu, meningkatkan kemampuannya untuk membantu orang lain dengan memperoleh semakin banyak keterampilan praktis (skills) dalam berwawancara konseling. Dalam sejarah perkembangan teori-teori konseling, Carkhuff menemukan dua konsepsi pokok serta dua pola dasar pendekatan dalam konseling, yaitu konsepsi serta pendekatan yang menekankan memahami (insight approach) dan konsepsi serta pendekatan yang mengutamakan bertindak (action approach) kedua pola pendekatan harus dipandang sebagai pola yang berat sebelah dan kurang menjamin keberhasilan dalam konseling karena memahami tidak dituangkan dalam suatu program nyata dan bertindak tidak didasarkan pada pengertian serta keyakinan yang harus menjamin kelangsungan dari berbagai tindakan yang diambil. Supaya orang mengubah diri dan mengubah perilakunya dibutuhkan baik memahami maupun bertindak.
Oleh karena itu, kedua pola pendekatan harus dipadukan dalam suatu pendekatan sistematis yang menjamin efisiensi dan efektifitas dari proses konseling serta menghasilkan perubahan positif yang nyata dalam perilaku klien. Orang yang menjalani proses konseling akan melewati tiga fase pokok dalam proses itu, yaitu eksplorasi (eksploration), pemahaman diri (understanding) dan bertindak (action). 
Untuk membantu klien melewati tiga fase itu secara tuntas, konselor harus memiliki keterampilan berwawancara konseling. Keterampilan ini harus berakar dalam kondisi-kondisi internal yang harus dipenuhi oleh konselor, kondisi-kondisi itu oleh Carkhuff disebut dimensi-dimensi pada konselor. Penelitian terhadap dimensi itu ternyata menunjukkan suatu garis perkembangan, mulai dari pengertian terhadap pengalaman pikiran dan perasaan klien (emphatic understanding), yang dilengkapi dengan penerimaan tak bersyarat (unconditional positive regard) dan keikhlasan (genuiness). Sebagaimana tampak dalam karya-karya tulis Carl Rogers.
Tiga dimensi itu dikembangkan lebih lanjut sebagai ketujuh kondisi yang memperlancar proses komunikasi antar pribadi (facilitative conditions), yaitu pengertian yang tepat terhadap klien (accurate emphaty); penghargaan (respect), kejujuran dan keterbukaan (genuinesess), kemampuan berbicara secara konkrit dan spesifik (concretness, specificity), kemampuan dan kerelaan untuk membuka diri sejauh menyangkut kepentingan klien (selfdisclosure), kemampuan untuk menghadapkan klien dengan segera (immediacy).
Semua dimensi itu kemudian dikelompokkan sebagai dimensi mendengarkan (responsive  dimension) untuk membantu klien memahami diri dan situasi kehidupannya, yang meliputi empati, penghargaan dan kemampuan berbicara secara spesifik dan dimensi memprakarsai (initiative dimension) untuk membantu klien menyusun suatu rencana kerja dan bertindak sesuai dengan rencana itu, yang meliputi keikhlasan, kemampuan menghadapkan klien pada dirinya sendiri, kemampuan menanggapi dengan segera dan berbicara secara konkret. Lalu dua dimensi mendengarkan dan memprakarsai itu oleh Car-huff diwujudkann dan dijabarkan menjadi keterampilan-keterampilan tertentu (skills) yang digunakan oleh konselor untuk membantu  klien melewati fase-fase pokok dalam konseling.
Keterampilan yang dimaksud mencakup keterampilan untuk menaruh perhatian dan menciptakan suasana berkomunikasi antarpribadi (attending skills), ketrampilanmemperoleh pemahaman yang tepat mengenai klien dan mengkomunikasikan pemahaman itu secara memadai (responding skills), keterampilan membantu klien untuk lebih memahami diri sendiri dan situasi kehidupannya dengan melihat semua implikasi dari susituasi yang menyangkut dirinya secara pribadi (personalizing skills),  keterampilan membantu klien menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dan mengambil urutan langkah konkret untuk mencapai semua tujuan itu (initiating skills).
Ketiga fase dalam proses konseling, yaitu eksplorasi, pemahaman diri dan bertindak didahului oleh suatu fase persiapan, dimana klien melibatkan diri dalam proses konseling (involvement).
5. Pendekatan Behavioristik
a.Reality Therapy
Reality Therapy dikembangkan oleh William Glasser. Yang dimaksudkan dengan istilah reality ialah suatu standar atau patokan obyektif yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan ini dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial atau realitas moral. Sesuai dengan pandangan behavioristik, yang terutama disoroti pada seseorang adalah tingkah lakunya yang nyata. Tingkah laku itu dievaluasi menurut kesesuaian dan ketidaksesuaiannya dengan realitas yang ada. Glesser memfokuskan perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan menitik beratkan tanggung jawab yang dipikul setiap orang untuk berprilaku  sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi. Penyimpangan atau ketimpangan dalam tingkah laku seseorang, dipandang sebagai akibat dari tidak adanya kesadaran mengenai tanggung jawab pribadi, bukan sebagai indikasi atau gejala adanya gangguan dalam kesehatan mental menurut konsepsi tradisional.
Bagi, Glesser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa tanggung jawab dalam semua perilaku. Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar, yaitu kebutuhan untuk dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai orang yang berharga dan berguna tetapi tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi  kebutuhan mereka. Kemampuan untuk memenuhi kedua kebutuhan dasar itu tidak dimiliki sejak lahir, tetapi harus diperoleh melalui proses belajar. Dengan demikin tanggung jawab merupakan hasil dari aneka usaha belajar memenuhi kebutuhan itu dalam realitas hidup, yang menghadapkan orang pada norma-norma moralitas, adat istiadat sosial, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak gerik yang lain. Orang perorangan tidak diperkenankan untuk bertindak sesuka hati, dia harus menunjukkan tingkah laku yang tepat dan menghindari tingkah laku yang salah (rigth and wrong behavior).
Selama proses konseling, konselor membantu klien untuk menilai kembali tingkah lakunya dari sudut bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling bagi klien menjadi pengalaman  belajar menilai diri sendiri dan dimana perlu menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat. Sampai teraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan tata cara bertindak secara tepat dan meluruskan bila klien tidak bertindak secara bertanggung jawab. Konselor menolak segala macam alasan untuk membela diri bila klien tidak menunjukkan tanggung jawab itu, apabila menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau situasi dan kondisi. Kalau klien ingin menikmati kebahagiaan dalam hidup dia harus menjadi orang yang bersikap dan bertindak penuh tanggung jawab ditengah-tengah medan kenyataan hidup.
Menurut pendapat Schmidt (1993) pendekatan ini cocok utuk diterapkan oleh konselor sekolah karena tekanan yang diberikan pada kemampuan individu untuk mengatur kehidupannya sendiri dan berani mempertanggungjawabkan tingkah lakunya. Namun harus diingat  bahwa pendapat itu menyangkut suatu lingkungan kebudayaan yang mengutamakan pengembangan segala potensi yang dimiliki oleh seorang dan karena itu mungkin kurang selaras dengan ciri kebudayaan yang menghargai kelancaran dalam hubungan sosial biarpun berarti mengorbankan suatu potensi yang sebenarnya dimiliki.
b. Multimodal Counseling
Nama “Multimodal Counseling” sulit diganti dengan istilah bahasa Indonesia yang sesuai, pendekatan konseling ini memadukan berbagai unsur (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal counseling), sehingga terciptalah sistematika yang baru. Mengingat sejarah perkembangan demikin, pendekatan ini bersifat eklektik. Pelopornya adalah Lazarus yang mengembangkan pendekatan ini selama 1970-an dan menyaksikan perluasan aplikasi pendekatan ini oleh boleh banyak konselor selama dasawarsa berikutnya, antara lain karena sifatnya yang sangat eklektik dan berasaskan wawasan yang sangat luas. Pendekatan ini berakar dalam medan teori behavioristik, tetapi sekaligus mencakup banyak unsur lain yang saling berkaitan dalam lingkup sejarah perkembangan individu, proses belajar dan hubungan antar pribadi. Selain itu, pendekatan ini sekaligus dirancang untuk mengembangkan suatu  proses konseling yang dapat memenuhi kebutuhan masing-masing klien. Seperti seorang penjahit memotong kain menurut ukuran badan orang yang akan mengenakan baju baru.
Untuk itu selama prose konseling perhatian konselor terpusatkan pada tujuh faktor atau komponen dalam pola kehidupan klien, yaitu perilaku nyata (Behavior), alam perasaan (Affectt), proses persepsi melalui alat indera (Sensation), konsep diri daalam berbagai aspeknya (imagery) keyakinan dan nilai-nilai dasar sebagai pegangan berpikir dan menentukan sikap (Cognition), hubungan antar pribadi dengan orang yang dekat (Interpersonal Relationships) dan keadaan fisik serta kesehatan jasmani (Biological Functioning). Setiap komponen atau mode ditinjau dan dibahas untuk mengumpulkan data yang relevan.
Bilamana diambil ketujuh huruf pertama dalam Bahasa Inggris, dengan menggantikan huruf yang terakhir B menjadi D (Drug=obat), diperoleh akronim BASIC ID yang menjadi kerangka berpikir dan pegangan mental bagi konselor dalam mengumpulkan data tentang pola kehidupan klien. Data yang terhimpun itu kemudian klien dapat dikonsepsikan secara jelas dan ditemukan sumber timbulnya masalah pada saat sekarang. Kemudian ditentukan cara menanggulani masalah yang paling tepat dan cara membantu klien mengatasi yang paling efisien dengan memiih dari sekian banyak siasat yang tersedi, misalnya perubahan tingkah laku secara langsung, rehabililitasi kognitif atau lain lain siasat.
Ahli konseling yang lain, D. Keat, kemudian mengadaptasikan format akronim BASIC ID dengan kebutuhan yang khas bagi anak yang belum mencapai umur masa remaja dan belum sebegitu termotivasi untuk mengubah tingkah lakunya atas dasar prakarsa sendiri (motivasi ekstrinik versus motivasi instrinsik). Pengadaptasian ini menghasilkan akronim baru, yaitu HELPING dengan komponen kesehatan (Health), perasaan (Emotion), belajar (Learning), bersifat pribadi (Personal ), pandangan dan bayangan mengenai diri sendiri (Imagination), kebutuhan untuk mengetahui (Need to know) dan pendampingan serta bimbingan (Guidance of behaviors). Menurut pandangan Schmidt dalam bukunya Counseling in Schools (1993), pendekatan konseling menurt sistematika Lazarus dan Keat sangat sesuailah dengan setuasi kehidupan yang kerap dijumpai dan memungkinkan untuk memfokuskan perhatian pada salah satu komponen dalam pola kehidupan yang sebaiknya mengalami perubahan  lebih dahulu .
Misalnya diusahakan perubahan dalam cara memandang sesuatu dan penentuan sikap (cognition) yang diperkirakan akan berdampak positif terhadap proses perkembangan selanjutnya atau dimulai suatu perubahan dalam perawatan kejasmanian biarpun sedikit demi sedikit (Drugs). Dengan kata lain, hal/unsur/komponen yang paling menonjol dapat ditangai lebih dahulu  tanpa mengusahakan suatu perubahan menyeluruh dan radikal, yang biasanya sangat sulit dilakukan oleh orang yang masih berumur muda.[7]









BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam proses pendekatan dibutuhkan teknik dan cara-cara yang bertahap agar menemukan penyelesaian dalam masalah yang di hadapi, dan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, baik sarana tersebut berupa fisik seperti alat peraga, administrasi, dan pergedungan di mana proses kegiatan bimbingan berlangsung, bahkan pelaksana metode seperti pembimbing sendiri adalah termasuk metode juga dan sarana non fisik seperti kurikulum, contoh, teladan, sikap dan pandangan pelaksana metode.
Pendekatan Rasional Emotif adalah aliran psikoterapi yang berlandaskan asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi, baik untuk berpikir rasional dan jujur maupun untuk berpikir irasional dan jahat.
v  Pendekatan Analisis Transaksional adalah psikoterapi transaksional yang dapat digunakan dalam terapi individual, tetapi lebih cocok untuk digunakan dalam terapi  kelompok. Analisis Transaksional melibatkan suatu kontrak yang dibuat oleh klien yang dengan jelas menyatakan tujuan-tujuan dan arti proses terapi, juga berfokus pada putusan-putusan awal yang dibuat oleh klien, dan menekankan kemampuan klien untuk membuat putusan-putusan baru.
v  Pendekatan Afektif terbagi atas:
a. Psikoanalisis (Psychoanalysis) yaitu Terapi psikoanalitis berusaha membantu individu untuk mengatasi ketegangan psikis yang bersumber pada rasa cemas dan rasa terancam yang berlebih-lebihan (anxiety),


b. Psikologi Individual yaitu kebutuhan seseorang untuk menempatkan diri dalam kelompok sosialnya. Seperti rasa rendah diri (inferiority feeling), usaha untuk mencapai keunggulan (striving for superiority) dan gaya hidup perseorangan (a person’s lifestyle).
c. Teori Gestalt yaitu terapi menghayati diri sendiri dalam situasi kehidupan yang sekarang dan menyadari halangan yang diciptakannya sendiri untuk merasakan serta meresapi makna dari konstelasi pengalaman hidup.
d. Konseling Eksistensi yaitu berfokus pada situasi kehidupan manusia di alam semesta yang mencakup kemampuan kesadaran diri, kebebasan untuk memilih dan menentukan nasib hidupnya  sendiri.
v  Pendekatan Kognitif terbagi atas:
a. Analisis Transaksional  yaitu Corak konseling ini dapat diterapkan dalam konseling individual , tetapi dianggap paling bermanfaat dalam konseling kelompok, karena konselor mendapat kesempatan untuk langsung mengamati pola-pola interaksi antara seluruh anggota kelompok.
b. Sistematika Carkhuff  yaitu cara menghadapi dan mengatasi suatu masalah dengan berpikir dan bertindak secara lebih konstruktif, bahkan klien belajar bahwa cara menyelesaikan masalah tertentu pada saat sekarang dapat pula diterapkan dalam menghadapi permasalahan, kesulitan, persoalan yang lain di kemudian hari.
v  Pendekatan Behavioristik
a.Reality Therapy yaitu Realitas atau kenyataan ini dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas sosial atau realitas moral.
b.Multimodal Counseling yaitu pendekatan konseling ini memadukan berbagai unsur (multi) dari beberapa pendekatan yang tersedia (modal counseling), sehingga terciptalah sistematika yang baru.




DAFTAR PUSTAKA
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Cet. III, ( Bandung: Eresco, 1997)
Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Cet.1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000)
http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/04/01/teori-teori-konseling/


[2] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Cet. III, ( Bandung: Eresco, 1997), hlm. 124
[3] Dewa Ketut Sukardi, Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Cet.1, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), hlm. 98
[4] Ibid, hlm. 99
[5] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi,  Cet. III (Bandung: PT. Eresco,1997), hlm. 159-160
[6] Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah,Cet.1, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 112

[7] http://waskitamandiribk.wordpress.com/2010/04/01/teori-teori-konseling/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gunakan bahasa yang sopan..

Makalah sosiologi komunikasi- paradigma keilmuan dan teori komunikasi

SOSIOLOGI KOMUNIKASI : PARADIGMA KEILMUAN DAN TEORI KOMUNIKASI DISUSUN OLEH : RAHMAT ABAS MOHAMAD RIFAI DJ RAUF ERWI...