Kamis, 19 Mei 2016

Makalah sosiologi agama - agama,globalisasi, sekularisasi



SOSIOLOGI AGAMA
AGAMA, GLOBALISASI, DAN SEKULARISASI




DISUSUN OLEH :
RAHMAT ABAS
SEMESTER : IV




JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS USHULLDIN DAN DAKWAH
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
TA. 2016-2017




KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji dan syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat teriring salam semoga selalu senantiasa Allah curahkan kepada Rosulullah Muhammad SAW, para sahabat dan keluarganya.
Makalah yang berjudul “agama, globalisasi, dan sekularisasi” adalah salah satu syarat dari proses pembelajaran mata kuliah Sosiologi agama di Fakultas ushuldin dan dakwah Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai gorontalo.
Pada kesempatan kali ini,dengan penuh syukur kami mengucapkan terimah kasih  kepada kedua orang tua kami atas segala doa dan harapan besar yang harus kami pertanggung jawabkan. kami merasa sangat berharga dengan semua itu sehingga dengan penuh semangat bias menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Meskipun demikain, tidak ada manusia yang sempurna. Oleh karena itu,segala kesalahan dan kekhilafan yang ada mohon di malumi.





                                                                                                Gorontalo : 07-05-2016










BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
 Jika ditinjau dari sudut sosiologi modernisasi, ada kaitan yang inheren antara masyarakat beragama dengan paham sekularisme dan sekularisasi. Pada mulanya sekularisasi dinyatakan sebagai bagian integral dari proses modernisasi.  Namun pada pada realitanya sekularisasi lebih diarahkan pada pemisahan lembaga agama dari lembaga negara, atau dengan kata lain pembedaan antara fungsi politik dan fungsi agama. Asumsi-asumsi dasar tentang modernisasi terdiri dari sekularisme, materialisme, individualisme, dan komitmen untuk kemajuan melalui sains dan teknologi, yang pada akhirnya menurut John L. Esposito, hal inilah yang membentuk inti polemik intelektual Barat melawan Islam dan pembenaran intelektual bagi dominasi Barat terhadap Muslim.
B.     Rumusan masalah

a.                        Memahami agama, globalisasi, sekularisasi
b.                       Hubungan Agama dan globalisasi
c.                        Hubungan Agama dan sekularisasi











BAB II
PEMBAHASAN
1.      Memahami agama, globalisasi, sekularisasi
A.    Agama
      agama telah dimaknai dalam berbagai bahasa dan dengan berbagai arti tentunya.  misalnya dalam bahasa semit agama disebut dengan dien yang artinya undang-undang atau hukum. dalam bahasa arab agama dikenal dengan istilah din yang artinya menguasai, menundukkan, patuh, hutang balasan, kebiasaan.  sedangkan dalam bahasa sanskrit agama terdiri dari dua kata yaitu a artinya tidak, gama artinya pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.[1]

      sedangkan menurut istilah, para ahli kembali berbeda pendapat tentang definisi agama.
harun nasution mengatakan bahwa agama adalah ikatan-ikatan yang harus dipegang dan
dipatuhi oleh manusia, yang punya pengaruh besar dalam hidup manusia sehari-hari, yang berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera.[2]

      Mahmud syaltut sebagaimana yang dikutip oleh quraish shihab, menyatakan bahwa agama adalah ketetapan-ketetapan ilahi yang diwahyukan kepada nabi-nya untuk menjadi pedoman hidup manusia.[3]
       secara umum dapat diartikan sebagai perangkat aturan dan peraturan yang mengatur  hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur  hubungan manusia dengan lingkungannya.  Definisi lebih menjurus melihat agama sebagai teks ataupun doktrin, sehingga ketertiban manusia sebagai pendukung atau penganut agama tersebut tidak tercakup di dalamnya. Sehingga peranan keyakinan keagamaan terhadap kehidupan duniawi dan sebaliknya, dan kelestarian serta perubahan-perubahan keyakinan keagamaan tidak tercakup dalam definisi di atas.
      Menurut para pakar ilmu-ilmu sosial dalam Oxford Dictionary of Sociology seperti yang dikutip oleh Walter H. Capps, agama (religion) sebagai a set of beliefs, symbols and practices, whis based on the idea of the sacred, and which unites believers into s socio-religious community.  Definisi ini jika ditranslitkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna agama adalah seperangkat

kepercayaan, lambang-lambang dan praktik yang didasarkan atas ide tentang sesuatu yang sakral, dan yang mempersatukan mereka yang percaya ke dalam komunitas sosio-religius.
B.     Globalisasi
     Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan Internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya.
    Meski sejumlah pihak menyatakan bahwa globalisasi berawal di era modern, beberapa pakar lainnya melacak sejarah globalisasi sampai sebelum zaman penemuan Eropa dan pelayaran ke Dunia Baru. Ada pula pakar yang mencatat terjadinya globalisasi pada milenium ketiga sebelum Masehi. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, keterhubungan ekonomi dan budaya dunia berlangsung sangat cepat.

    Istilah globalisasi makin sering digunakan sejak pertengahan tahun 1980-an dan lebih sering lagi sejak pertengahan 1990-an, Pada tahun 2000, Dana Moneter Internasional (IMF) mengidentifikasi empat aspek dasar globalisasi: perdagangan dan transaksi, pergerakan modal dan investasi, migrasi dan perpindahan manusia, dan pembebasan ilmu pengetahuan.  Selain itu, tantangan-tantangan lingkungan seperti perubahan iklim, polusi air dan udara lintas perbatasan, dan pemancingan berlebihan dari lautan juga ada hubungannya dengan globalisasi. Proses globalisasi memengaruhi dan dipengaruhi oleh bisnis dan tata kerja, ekonomi, sumber daya sosial-budaya, dan lingkungan alam.

C.    Sekularisasi

    Sekuler menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian).[4] Kata sekuler maupun sekularisasi berasal dari bahasa Eropa (Inggris, Belanda atau Perancis) yaitu secular. Asal kata sekular adalah bahasa Latin yaitu saeculum yang artinya zaman sekarang ini[5], dapat juga diartikan dengan abad (age, century, eewu, siecle). Jadi sekuler berarti seabad. Selanjutnya sekuler juga mengandung arti “bersifat duniawi” atau “yang berkenaan dengan hidup dunia sekarang” (temporal, wordly, wereldijk, mondaine).[6]

Pengertian pertama tentang sekularisasi ialah bahwa ia adalah proses, yaitu proses penduniawian. Dalam proses tersebut terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini. Tetapi dalam perjalanan waktu dan historis, kemudian sekularisasi dimaksudkan sebagai pembebasan manusia pertama kali dari agama, kemudian dari metafisika yang selalu mengontrol akal dan bahasanya.
            Harun Nasution mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses penduniawian, yaitu proses melepaskan hidup duniawi dari kontrol agama.[7] Sekularisasi dengan demikian adalah proses melepaskan diri dari ikatan-ikatan agama. Dalam perkembangan selanjutnya bisa mengarah pada diabaikannya agama dan akhirnya mungkin sekali mengarah pada ateisme.
            Sekularisasi tidak hanya melingkupi aspek-aspek politik dan sosial kehidupan, bahkan telah merasuki adpek kultural, karena hal ini menunjukkan hilangnya determinasi religius dari simbol-simbol integrasi kultural. Sekularisasi menyiratkan suatu proses historis, dimana masyarakat dan kultur, bebas dari perwalian kontrol religius dan pandangan-pandangan dunia metafisis yang tertutup. Sekularisasi menjadi suatu perkembangan pembebasan, dan hasil akhirnya adalah relativisme historis. Oleh karenanya menurut para ahli, komponen-komponen integral dalam dimensi-dimensi sekularisasi adalah disankanmen (disenchanment of nature) (penidak-kramatan) alam, desakralisasi (desacralization of politics) (penidak-sucian) politik dan dekonsekrasi (deconsecration of values) (penidak-muliaan) nilai-nilai.[8]
2.      Agama dan globalisasi
Kata globalisasi kerap diidentikan dengan kemajuan terutama dalam bidang teknologi dan informasi yang tanpa batas. Kedua bidang tersebut memberi dampak pada bidang lainnya seperti budaya, pendidikan, hukum, ekonomi, sosial, politik kemudian keseluruhan distandartkan dalam sistem yang mendunia.
a.       Agama dan perkembangan ekonomi
Hubungan agama dan ekonomi dilihat dari dua pendekatan. Pertama, pusat perahatian diletakkan pada kepercayaan sekte atau golongan agama dan pada karakterisrik moral serta motivasi yang ditimbulkan. Pendekatan kedua, tekanan awalnya diletakkan pada perubahan sosial dan ekonomi yang menyebabkan adanya suatu kelompok, gerakan sosial yang kemudian muncul dianggap sebagai reaksi terhadap perubahan itu. Weber menjelaskan bahwa puritanisme Eropa itu unik. Di Cina, meski punseni dan kerajinannya maju dan tradisi besar tentang kehidupan kota, keuangan sering salah kelola, tidak ada sistem pembukuan yang memadai bagi keperluan pengawasan dan pengantian modal fisik. Meskipun pemikiran Cina sangat rasional, baik dalam Konfusianisme maupun Taoisme yang ortodoks maupun dalam aliran-aliran heterodoks seperti Budhaisme, ada toleransi terhadap kekuatan magis.


Berpaling ke India, Weber menganalisis kehidupan Hindu khusunya sistem kasta dan gerakan-gerakan protes terhadap Hinduisme ortodoks kaum Brahana, khusunya Budhisme. Kepercayaan tertentu atau ritual itu sendiri merupakan hambatan yang tak teratasi bagi pembangunan ekonomi. Misalnya, orang-orang yang berbeda kasta sulit bekerja dalam lingkup yang sama (satu pabrik). Pada Tahun 1981, Higgins melakukan penelitian sama dengan penelitian Ellen mengenai korelasi agama dengan pendapatn perkapita. Hasilnya, agama protestan menempai posisi tertinggi pendapatan perkapintanya yang bernilai diatas 7000 dolar, katolik dibawahnya, dan negara yang mayoritas agamanya Islam, Hindu, Budha, dan suku di Afrika menempati peringkat kelas menengah kebawah dengan pendapat perkapitanya kurnag dari 500 dolar. Label agama juga mempengaruhi tampilan dari institusi keuangan. Muncul banyak lembaga keuangan yang berlabelkan agama, label syari’ah di Indonesia mendapatkan perhatian khusus bagi interaksi sosial di ranah ekonomi dalam kajian sosiologis.

b.      Agama dan perubahan social
Perubahan sosial merupakan kenyataan yang dibuktikan oleh gejala-gejala seperti depersonalisasi, adanya frustasi, dan apati (kelumpuhan mental), pertentangan dan perbedaan pendaat generation gap. Perubahan sosial menjadi nyata sebagai gelombang ketidakseimbangan antarsatuan sosial dalam masyarakat. Penyebab perubahan sosial seperti ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi yang kaitannya dengan penggunaannya, komunikasi, transportasi, urbanisasi, tuntutan masyarakat, dan lain-lain. Perubahan sosial dapat bersifat positif dan negatif. Pada umunya motivasi disebabkan oleh kemajuan teknologi, akan tetapi setiap kemajuan menimbulkan akibat maka akan mengubah penilaian seseorang terhadap sesuatu.
Pada perubahan yang multikompleks ini dengan sendirinya ada dua kemungkinan yaitu : pertama, bahwa manusia menemukan sistem nilai dan falsafah hidup yang baru. Kedua, manusia tenggelam dalam persoalan-persoalan yang dihadapinya dan tidak dapat mengambil sikap terhadap keadaan baru.
Implementasi Pemaknaan Agama dalam Masyarakat di era Globalisasi
1.      Agama Kristen (Protestan dan Katolik)
Pergeseran nilai-nilai yang didoktrin oleh agama perlahan muncul dipermukaan salah satunya disebabkan oleh globalisasi. Contohnya di lingkup keluarga seorang Peran Agama Dalam Era Globalisas dan Modernisas serta Kaitannya dengan Ketahanan dan Peranan Keluarqa : Sudut Pamdanq Agama Kristen yang diteliti oleh Dr. Alex Peat menjelaskan bahwa adanya beberapa hal yang terjadi yaitu goncangnya lembaga perkawinan: poligami, perceraian, kumpul kebo, kawin paksa, perkosaan, homophili; meluruhnya cinta suami istri : egoisme, hedonisme, cara-cara machiavelis (tujuan menghalalkan cara : abortus, sterilisasi paksa); faktor penghambat luar keluarga: keadaan ekonomis, hukum, ledakan penduduk, keadaan sosio-psikologis (struktur patriarki ke nuclear family, pandangan perceraian yang permisif, komersialisasi seks).


UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke Tuhan Yang Maha Esa. Pada pernyataan tersebut tersirat bahwa perkawinan bukan kebahagiaan tetapi kesatuan dengan ikatan lahir batin antara suami-istri dalam membentuk keluarga, untuk itu suami-istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangakan kepribadiannya mencapai kesatuan sejati dalam perkawinan. Nilai-nilai agama yang dipertahankan seperti kesatuan suami-istri, buah-buah perkawinan, lembaga yang didirikan Tuhan.
a.    Kesatuan suami-istri
Injil menegaskan “mereka bukan lagi dua melainkan satu” (Mrk 10,8; cfr. Kej 2,24). Kesatuan suami-istri ini mempunyai akarnya dalam kodrat pria-wanita yang saling melengkapi, dan dikembangkan lewat kesanggupan pribadi masing-masing untuk saling membagi seluruh kehidupan mereka. Kesatuan suami-istri itu oleh Konsili Vatikan II disebut Communitas Amoris, persekutuan hidup. ini berarti kesatuan suami-istri tidak direduksi ke dalam hubungan persetubuhan belaka.
b.    Buah-buah perkawinan
Pada dasarnya hubungan cinta suami istri yang diwujudkan dalam hubungan seksual mengarah pada buah-buah perkawinan yakni lahirnya anak-anak. Jadi, tugas utama suami istri dan keluarga adalah melayani kehidupan.
c.    Lembaga yang didirikan Tuhan
“Perkawinan itu ikatan seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri...”(UU No. 1 Thn 1974 Tentang Perkawinan). Perkawinan itu harus monogami.
2.      Agama Islam
Salah satu contohnya adalah pergeseran makna dan pelaksanaan pesantren dalam kehidupan modern. Pesantren bukan lagi merupakan lembaga yang mengajarkan khusus nilai-nilai agama namun juga mata pelajaran umum sama dengan lembaga pendidikan yang lain. Sejalan dengan globalisasi dengan kemajuan teknologi, pesantren juga berkembang agar bisa diterima oleh masyarakat luas. Tidak hanya pelajaran salafi namun juga pelajaran global sehingga para santri dipersiapkan untuk menjalani kehidupan global dengan cara-cara lokal. Think globaly act localy sering digembor-gemborkan untuk membentuk identitas baru masyarakat pesantren di era globalisasi.



Dampak hal ini bersifat positif dan negatif. Pada pesantren yang telah menerima ilmu-ilmu baru maka santrinya akan mempunyai wawasan luas sehingga muncul sikap kritis dan motivasi yang tinggi untuk hidupnya. Kegagalannya apabila nilai agamanya tidak berkembang cepat dengan ilmu sains nya maka pembentukan moral yang sesuai dengan ajaran agama tentunya akan terdominansi oleh ajaran sains yang terkadang tidak sesuai dengan ajaran agama yang dianut khusunya nilai-nilai dalam agama Islam.
3.      Agama Hindu
Salah satu masyarakat yang mayoritas beragama Hindu adalah di pulau Bali, dahulu masyarakat sangat kental dengan sistem kasta. Akan tetapi dengan adanya pengaruh globalisasi dan modernisasi maka perlahan sistem kasta mulai tidak diberlakukan lagi, dan ada kelonggarn-kelonggaran. Contoh lain yaitu ketika ada upaca peringatan hari Imlek di Candi Borobudur, dimana seharusnya upacara itu berjalan hikmat, akan tetapi seiring berkembangnya jaman ada nilai-nilai yang bergeser dalam prosesi upacara tersebut, misalnya banyak pengunjung yang mendokumentasikan upacara tersebut untuk kepentingan ekonomi sehingga upacara tersebut menjadikan berkurangnya nilai kesakralan dari prosesi upacara tersebut. Contoh lain yaitu adanya konflik Homo-Aiqualis dan Homo-hierarchicus. Kelompok Homo-Aiqualis dengan ideologi egalitarianisme ingin melihat masyarakat Bali yang demokratis, tanpa adanya diskriminasi atas dasar keturunan. Di lain pihak kelompok Homo-hierarchicus dengan segala upaya mempertahankan status quo hierarki tradisionalnya. Dari sini kita melihat bahwa kelompok Homo-Aqualis telah terpengaruh oleh prinsip-prinsip demokrasi karena adanya.
4.      Agama Budha
Agama ini mengajrkan bahwa seseorang harus menemukan pengertian tentang kehidupan meski tak dapat diungkapkan dengan kata-kata.Seorang rahib dapat menghabiskan seluruh waktu hidupnya dengan melakukan meditasi yang menggunakan sebuah kalimat atau kata yang disebut koan.Koan adalah suatu teka-teki yang tidak mempunyai jawaban yang populer adalah “suara apakah yang timbul dari bertepuk sebelah tangan? Orang-orang Buddha Zen sering membuat taman-taman yang indah sebagai alat bantu untuk melakukan meditasi. Pergeseran yang ada di dalam agama Buddaha karena adanya pengaruh globalisasi yaitu adanya pergeseran nilai kebenaran. Dimana norma dan nilai-nilai mulai dilanggar, contohnya saja pergaulan yang ada di masyarakat khususnya muda-mudi yang melanggar norma asusila dan tidak lagi mengindahkan aturan-aturan yang berlaku.






3.      Agama dan sekularisasi
     
       Pada mulanya sekularisasi yang terjadi di Barat merupakan reaksi yang dilakukan para cendikiawan (ahli pikir) terhadap gereja yang menentang segala hasil penelitian, teori dan hasil penalaran rasional murni yang berlawanan dengan gereja. Memang segala persoalan sekularisasi adalah dalam konteks kebuadayaan Barat, “Christendom” (Alam Kristen). Sekularisasi tidak dapat dipahami dan tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah gereja.[9] Di Barat, pada abad pertengahan, mulai terjadi langkah-langkah yang memisahkan bidang agama (yang berhubungan dengan Hari Kemudian) dengan bidang sekular (hal-hal yang berhubungan dengan dunia atau zaman sekarang). Sedikit demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kebebasan dari pengawasan gereja, yang saat itu di Barat masih beragama Katolik, sedangkan agama Protestan belum lahir.[10]
       Kekuasaan gereja yang didukung oleh penguasa (Raja/Kaisar) pada waktu itu sangat kuat untuk menentang ilmu dan kebebasan. Wacana keilmuan yang pernah mendominasi orang-orang Yunani sebelumnya, yang kemudian dijadikan oleh gereja sebagai sesuatu yang kudus menjadi bagian dari agama. Tidak boleh seorang pun menentangnya atau menginterpretasikan yang bertentangan dengan keputusan gereja, terutama yang menyangkut ilmu kimia, fisika maupun geografi dan sebagainya.
       Gereja memusuhi orang yang menyampaikan teori ilmu yang bertentangan dengan ajaran gereja, seperti pendapat yang mengatakan bahwa bumi ini bulat dianggap sebagai suatu kekafiran dan keluar dari agama.  Gereja pada masa itu menjadi cermin teror agama, teror pemikiran dan teror politik yang mengancam setiap orang yang dibenaknya memiliki pandangan atau pemikiran yang bertentangan dengan pandangan gereja.[11]
       Jadi sekularisasi yang didengungkan oleh para pemikir, filsuf dan rakyat pada waktu itu adalah untuk membebaskan diri dari kungkungan gereja menuju pencerahan dan perubahan yang lebih mengoptimalkan peran rasion maupun penalaran murni untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bukan menjadi otoritas gereja sepenuhnya.
      Faktor lain yang membidani lahirnya sekularisasi di Barat ketika itu adalah filsafat Aristoteles yang mengakui adanya Tuhan dan sifat kesempurnaan-Nya. Namun Aristoteles memandang bahwa Tuhan merupakan sebagai penggerak pertama tidak berperan mengatur urusan dunia ini dan tidak mengetahui sedikit pun tentang apa yang terjadi di dalamnya, baik yang masuk ke dalam bumi maupun yang keluar dari bumi.
     



     Tuhan dalam filsafat Aristoteles tidak memiliki peran terhadap alam ini dengan segala kejadian di dalamnya. Dia tidak menghidupkan dan tidak mematikan, tidak mencipta dan tidak memberi rezeki, bahkan tidak memberi manfaat dan mudharat. Filsafat Aristoteles inilah yang  
memengaruhi pemikiran Barat yang menyimpan pemahaman bahwa Tuhan telah menciptakan alam, namun setelah itu membiarkan alam mengatur dirinya sendiri.
         Yusuf Qaradhawi juga menolak sekularisasi karena ia akan menghalangi pelaksanaan syariat Islam.[12] Sangat disayangkan jika gagasan sekularisasi banyak diadopsi, dianjurkan bahkan diimplementasikan oleh para pemikir, pemimpin Islam,. Karena sekularisasi merupakan buah empiris pahit Barat dalam hubungan antara agama dengan negara atau pertentangan antara agama dan sains seperti dalam sejarah Kristen.
            Sekularisasi yang merupakan bagian dari modernisasi juga telah menunjukkan sisi buruknya. Dalam masyarakat modern, di mana institusi-institusi sekular telah memasuki sebagai ranah publik (public atmosphere), nampak jelas bahwa berbagai gagasan religius dan institusi-institusi keagamaan semakin diprivatisasikan dan dimarginalkan, sebagai institusi non-formal dan cenderung tergeser oleh rasionalitas formal yang meminjam istilah dari Max Weber,[13] yang termanifestasikan dalam bentuk institusi formal. Selain masalah rasionalisasi, modernisasi dan juga sekularisasi memiliki implikasi lain dalam masyarakat. Fragmentasi sosial, menguatnya individua;itas, dan semakin rapuhnya sense of community dalam masyarakat modern merupakan persoalan yang menjadi dilema tersendiri bagi masyarakat agama.
















BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
     Dalam era globalisasi dan informasi, agama, menurut para saintis dan sosiolog akan mengalami perubahan dan benturan nilai. Para saintis yang sekuler melihat agama pada era globalisasi akan hilang atau tidak berfungsi lagi, sebaliknya sains dan teknologi akan menggantikan agama. Adapun sosiolog dan futurolog, seperti B.R Wilson dan John Naisbitt berpendapat bahwa agama akan bergeser dari agama utama menjadi agama pinggiran dan sekterian. Dalam era globalisasi dan informasi yang begitu terbuka, perubahan jelas terjadi dalam berbagai aspek kehidupan umat manusia. Bukan aspek agama saja yang berubah, tetapi aspek ekonomi, politik, seni, dll. Dengan demikian, agama sebaiknya merumuskan suatu fungsi global bagi seluruh umat manusia. Fungsi global yang dapat diperankan oleh agama adalah meningkatkan kesadaran spiritualitas dan moralitas umat manusia.
Pada hakikatnya, sebagai landasan spiritual, agama berfungsi untuk membangun kesadaran dan memberi pengetahuan bahwa seluruh hasil sains dan teknologi diarahkan untuk membesarkan dan memuliakan nama Tuhan. Saains dan teknologi bukan malah mengungkung dan dan merendahkan derajat manusia, tetapi sains dan teknologi harus selalu tunduk kepada manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.
Selanjutnya sains dan teknologi semestinya menyesuaikan diri juga dengan pesan-esan moral agama. Karena itu, setiap usaha untuk menemukan atau mencari kebenaran ilmiah seharusnya didasari atas iman dan moral agama bukan pada filsafat pengetahuan saja. Dengan demikian sains dan teknologi tidk bebas nilai. Teknologi adalh alat yang denganya sains dapat diterapkan untuk menghasilkan barang dan jasa. Di samping itu sains dan teknologi digunakan untuk memenuhi keinginan manusia, sehingga sains dan teknologi tidak bebas nilai sebab keinginan manusia bersifat subjektif.
















Daftar pustaka

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta.
Harun Nasution, 1974, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, Bulan Bintang, Jakarta.
Harun nasution, 1995, Islam Rasional, Mizan, Bandung
Hilman Latief, Mendefinisikan Universalisme Islam Peta Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia tentang Peran Agama dalam Wilayah Publik, www.psap.or.id/jurnal.php, diakses tanggal 24 Februari 2016
M. Rasyidi, 1977, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta
Nurcholis Madjid, 2008,  Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Baru
Parsudi Suparlan, 1995, dalam kata pengantar Sociology of Religion oleh Ronald Robertson, Edisi Indonesia, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Qaradhawi, Yusuf, 1999, Min Fiqh al-Daulah fi al-Islam, terj. Fiqih Daulah, pent. Kathur Suhardi, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Robertson, Roland, ed., 1993, Sociology of Religion, terj. Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, pent. Achmad Fedyani Saifuddin, Rajawali Pers.



[1]Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya I, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 9,10.
[2]Ibd., hlm. 121.
[3]M. Quraish Shihab, Loc.Cit..
8Parsudi Suparlan, dalam kata pengantar Sociology of Religion oleh Ronald Robertson, Edisi Indonesia, Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 5.
[4]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 894.
[5]Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Penerbit Mizan, Bandung, Edisi Baru, 2008, hlm. 241.
[6]Harun Nasution, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995, hlm. 188.
[7]Harun Nasution, Loc.Cit.
[8]Muhammad Naquib Al-Attas, Op.Cit., hlm. 15.
[9]M. Rasyidi, Empat Kuliah Agama pada Perguruan Tinggi, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 16.
[10]Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm. 57.
[11]Yusuf Qaradhawi, Op.Cit., hlm. 8.
[12]Ibid.
[13]Hilman Latief, Mendefinisikan Universalisme Islam Peta Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia tentang Peran Agama dalam Wilayah Publik, www.psap.or.id/jurnal.php, diakses tanggal 24 Februari 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

gunakan bahasa yang sopan..

Makalah sosiologi komunikasi- paradigma keilmuan dan teori komunikasi

SOSIOLOGI KOMUNIKASI : PARADIGMA KEILMUAN DAN TEORI KOMUNIKASI DISUSUN OLEH : RAHMAT ABAS MOHAMAD RIFAI DJ RAUF ERWI...